Jumat, 03 Desember 2010

PENDAFTARAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK (NPWP)


PENDAFTARAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK (NPWP)
Dalam pembahasan mengenai pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) kali ini penulis menyampaikan substansi yang terdapat pada tiap-tiap dasar hukum yang lebih menitikberatkan pada tata cara pendaftaran wajib pajak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang selanjutnya diambil kesimpulan berdasarkan komparansi antar dasar hukum tersebut.
DASAR HUKUM :
I. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
II. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER 41/PJ/2009 Jo PER-44/PJ/2008 Tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak dan/ atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak dan/ atau Pengusaha Kena Pajak.
III. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2009 Tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak dan/ atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dan Perubahan Data Wajib Pajak dan/ atau Pengusaha Kena Pajak Dengan Sistem e-Registration.
IV. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-65/PJ/2008 Tanggal: 18 November 2008 Tentang Penyampaian Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2008 Tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak dan/ atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak dan/ atau Pengusaha Kena Pajak.
V. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-33/PJ/2008 Tanggal 27 Juni 2008 Tentang Tata Cara Pemberian NPWP, Penerimaan dan Pengolahan SPT Tahunan PPh, Penghapusan Sanksi Administrasi, Penghentian Pemeriksaan, dan Pengadministrasian Laporan Terkait Dengan Pelaksanaan Pasal 37A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
VI. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP-161/PJ./2001 Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-160/PJ/2007 Tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
VII. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-59/PJ/2007 Tentang Penyampaian Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : PER-160/PJ/2007 Tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha, Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

 PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-44/PJ/2008 TANGGAL 20 OKTOBER 2008 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DAN/ATAU PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, PERUBAHAN DATA DAN PEMINDAHAN WAJIB PAJAK DAN/ ATAU PENGUSAHA KENA PAJAK
Pada saat berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-161/PJ./2001 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-160/PJ/2007 tentang Jangka Waktu Pendaftaran dan Pelaporan Kegiatan Usaha serta Tata Cara Pendaftaran serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengusaha Kena Pajak dinyatakan tetap berlaku, kecuali Pasal 1 sampai dengan Pasal 9 dan Pasal 14.
Dalam peraturan ini terdapat beberapa ketentuan mengenai jangka waktu pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak pada setiap wajib pajak yang telah memenuhi syarat, yaitu :
1. Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan NPWP.
2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dan Wajib Pajak badan, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama 1 (satu) bulan setelah saat usaha mulai dijalankan.
3. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas, apabila jumlah penghasilannya sampai dengan suatu bulan yang disetahunkan telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama pada akhir bulan berikutnya.
4. Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pendaftaran NPWP maka diterbitkan NPWP secara jabatan.
5. Wajib Pajak atau orang yang diberi kuasa khusus yang mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan permohonan pendaftaran NPWP ke KPP/ KP4/ KP2KP.
6. Berdasarkan permohonan pendaftaran NPWP oleh wajib pajak maka:
a. KPP menerbitkan Kartu NPWP dan SKT atau
b. KP4/ KP2KP memberikan Bukti Pendaftaran Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.


 LAMPIRAN I SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : SE-65/PJ/2008 TANGGAL 18 NOVEMBER 2008 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DAN/ ATAU PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK
A. TATA CARA PENDAFTARAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DAN/ATAU PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK
Hal-hal yang harus dilakukan oleh Wajib Pajak adalah :
1. Wajib Pajak harus mengisi Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak secara lengkap dan jelas. Dalam hal Wajib Pajak membutuhkan bantuan dalam mengisi formulir tersebut dapat menanyakan kepada Petugas Pendaftaran Wajib Pajak.
2. Wajib Pajak menyerahkan Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak yang telah diisi secara lengkap dan jelas serta ditandatangani Wajib Pajak atau kuasanya kepada Petugas Pendaftaran Wajib Pajak
Sedangkan Petugas Pendaftaran Wajib Pajak mempunyai tugas:
1. Menerima Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak yang telah ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya yang sah.
2. Memeriksa kelengkapan pengisian Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib dalam hal formulir belum sepenuhnya diisi oleh pemohon, petugas mengembalikan formulir kepada pemohon untuk dilengkapi pengisiannya.
3. Merekam dan mencetak Lembar Pengawasan Arus Dokumen (LPAD) serta menyerahkan Bukti Penerimaan Surat (BPS) kepada pemohon setelah ditandatangani petugas pendaftaran Wajib Pajak.
4. Mengisi kolom-kolom pada Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak yang diberi keterangan “Diisi oleh Petugas”.
5. Melakukan penelitian administrasi untuk mengetahui apakah pemohon telah terdaftar sebagai Wajib Pajak/ Pengusaha Kena Pajak pada tata usaha Kantor Pelayanan Pajak atau belum.
6. Apabila berdasarkan hasil penelitian administrasi ternyata:
a. Pemohon telah terdaftar sebagai Wajib Pajak, kepadanya tidak diberikan NPWP lagi; atau
b. Pemohon pernah terdaftar sebagai Wajib Pajak, kepadanya diberikan NPWP yang sama dengan NPWP yang pernah diberikan; atau
c. Pemohon belum terdaftar sebagai Wajib Pajak, kepadanya diberikan NPWP, dengan catatan, khusus untuk pemohon berstatus cabang atau orang pribadi pengusaha tertentu atau wanita kawin tidak pisah harta/penghasilan diberikan NPWP dengan aturan sebagai berikut:
1) Sembilan digit pertama NPWP yang diberikan sama dengan sembilan digit pertama NPWP pusat atau NPWP domisili atau NPWP suami.
2) Enam digit terakhir NPWP yang diberikan sesuai dengan kode administrasi KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
7. Merekam data permohonan sesuai isian pada Formulir Permohonan Pendaftaran WP sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan.
8. Merekam kewajiban perpajakan Wajib Pajak pada menu aplikasi pendaftaran Wajib Pajak.
9. Dalam hal pemohon mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, Petugas Pendaftaran Wajib Pajak:
a. Mencetak Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dan Kartu NPWP paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.
b. Meneruskan SKT kepada Kepala Seksi Pelayanan/ Tata Usaha Perpajakan untuk ditandatangani.
c. Menyampaikan SKT dan Kartu NPWP kepada Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.
10. Mencantumkan NPWP yang diberikan pada Formulir Pendaftaran Wajib Pajak.
11. Mengadministrasikan SKT yang diterbitkan.

B. TATA CARA PENDAFTARAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DAN/ ATAU PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK DI KANTOR PELAYANAN PAJAK PADA SAAT JARINGAN KOMPUTER TIDAK BERFUNGSI
Hal-hal yang wajib dilakukan oleh Wajib Pajak adalah :
1. Wajib Pajak harus mengisi Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak secara lengkap dan jelas. Dalam hal Wajib Pajak membutuhkan bantuan dalam mengisi formulir tersebut dapat menanyakan kepada Petugas Pendaftaran Wajib Pajak.
2. Wajib Pajak menyerahkan Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak yang telah diisi secara lengkap dan jelas serta ditandatangani Wajib Pajak atau kuasanya kepada Petugas Pendaftaran Wajib Pajak
Selanjutanya Petugas Pendaftaran Wajib Pajak mempunyai tugas:
1. Menerima Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak yang telah ditandatangani oleh Wajib Pajak dan/atau PKP atau kuasanya yang sah.
2. Memeriksa kelengkapan pengisian Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak dalam hal formulir belum sepenuhnya diisi oleh pemohon, petugas mengembalikan formulir kepada pemohon untuk dilengkapi pengisiannya.
3. Mengisi secara manual Lembar Pengawasan Arus Dokumen (LPAD) serta menyerahkan Bukti Penerimaan Surat (BPS) kepada pemohon setelah ditandatangani petugas pendaftaran Wajib Pajak.
4. Mengisi kolom-kolom pada Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak yang diberikan keterangan “Diisi oleh Petugas”.
5. Dalam hal pemohon (Wajib Pajak) mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, Petugas Pendaftaran Wajib Pajak melakukan:
a. Membuat Bukti Pendaftaran Wajib Pajak rangkap dua yang di dalamnya telah mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menjadi jatah listing NPWP di KPP terkait.
b. Meneruskan Bukti Pendaftaran Wajib Pajak kepada Kepala Seksi Pelayanan/ Tata Usaha Perpajakan untuk ditandatangani.
c. Menyampaikan Bukti Pendaftaran Wajib Pajak lembar ke-1 kepada pemohon (Wajib Pajak) setelah permohonan pendaftaran diterima secara lengkap.
Petugas Pendaftaran Wajib Pajak setelah komputer berfungsi kembali mempunyai tugas lanjutan sebagai berikut :
6. Melakukan penelitian administrasi untuk mengetahui apakah pemohon telah terdaftar sebagai Wajib Pajak pada tata usaha Kantor Pelayanan Pajak atau belum.
7. Apabila berdasarkan hasil penelitian administrasi ternyata:
a) Pemohon telah terdaftar sebagai Wajib Pajak, kepadanya tidak diberikan NPWP lagi; atau
b) Pemohon pernah terdaftar sebagai Wajib Pajak, kepadanya diberikan NPWP yang sama dengan NPWP yang pernah diberikan; atau
c) Pemohon belum terdaftar sebagai Wajib Pajak, kepadanya diberikan NPWP, dengan catatan, khusus untuk pemohon berstatus cabang atau orang pribadi pengusaha tertentu atau wanita kawin tidak pisah harta/penghasilan diberikan NPWP dengan aturan sebagai berikut:
1) Sembilan digit pertama NPWP yang diberikan sama dengan sembilan digit pertama NPWP pusat atau NPWP domisili atau NPWP suami.
2) Enam digit terakhir NPWP yang diberikan sesuai dengan kode administrasI KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.
8. Merekam data permohonan sesuai isian pada Formulir Permohonan Pendaftaran sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan.
9. Merekam kewajiban perpajakan Wajib Pajak pada menu aplikasi pendaftaran Wajib Pajak.
10. Dalam hal pemohon mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, Petugas Pendaftaran Wajib Pajak:
a) Mencetak Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dan Kartu NPWP paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.
b) Meneruskan SKT kepada Kepala Seksi Pelayanan/Tata Usaha Perpajakan untuk ditandatangani.
c) Menyampaikan SKT dan Kartu NPWP paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.
11. Mencantumkan NPWP yang diberikan pada Formulir Pendaftaran Wajib Pajak.
12. Mengadministrasikan SKT yang diterbitkan.

C. TATA CARA PENDAFTARAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DAN/ ATAU PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK MELALUI KANTOR PENYULUHAN DAN PENGAMATAN POTENSI PERPAJAKAN (KP4) ATAU KANTOR PELAYANAN, PENYULUHAN, DAN KONSULTASI PERPAJAKAN (KP2KP)
Hal-hal yang wajib dilakukan oleh Wajib Pajak adalah :
1. Wajib Pajak harus mengisi Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib secara lengkap dan jelas. Dalam hal Wajib Pajak membutuhkan bantuan dalam mengisi formulir tersebut dapat menanyakan kepada Petugas Pendaftaran Wajib Pajak.
2. Wajib Pajak menyerahkan Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak yang telah diisi secara lengkap dan jelas serta ditandatangani Wajib Pajak atau kuasanya kepada Petugas Pendaftaran Wajib Pajak.
Tugas yang harus dilakukan oleh Petugas Pendaftaran Wajib Pajak pada KP4/ KP2KP :
1. Menerima Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak yang telah ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya yang sah.
2. Memeriksa kelengkapan pengisian Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak dalam hal formulir belum sepenuhnya diisi oleh pemohon, petugas mengembalikan formulir kepada pemohon untuk dilengkapi pengisiannya.
3. Menerbitkan BPS secara manual dan menandatangani BPS, mencetak Bukti Pendaftaran Wajib Pajak rangkap dua yang di dalamnya telah mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menjadi jatah listing NPWP di KPP terkait.
4. Memberikan BPS dan Bukti Pendaftaran Wajib Pajak kepada Wajib Pajak.
5. Meneruskan Bukti Pendaftaran Wajib Pajak ke Kepala KP4/ KP2KP untuk ditandatangani.
6. Memberitahukan kepada Wajib Pajak bahwa KP2KP atau KP4 tidak mengeluarkan atau menerbitkan SKT dan Kartu NPWP. SKT dan Kartu NPWP akan dikeluarkan oleh KPP dimana Wajib Pajak seharusnya terdaftar.
7. Mengisi kolom-kolom pada Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak yang diberi keterangan “Diisi oleh Petugas”.
8. Mengirimkan Formulir Permohonan Pendaftaran WP yang telah ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya yang sah ke KPP paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.

 SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-33/PJ/2008 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN NPWP, PENERIMAAN DAN PENGOLAHAN SPT TAHUNAN PPh, PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI, PENGHENTIAN PEMERIKSAAN, DAN PENGADMINISTRASIAN LAPORAN TERKAIT DENGAN PELAKSANAAN PASAL 37A UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN
Tata Cara Pemberian NPWP Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
A. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

Ada 3 cara pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak untuk wajib pajak orang pribadi yaitu :

1. Datang langsung ke KPP
Langkahnya adalah sebagai berikut :
a. Wajib Pajak menyampaikan formulir Permohonan Pendaftaran dan Perubahan Data Wajib Pajak yang telah diisi beserta lampirannya kepada Petugas TPT.
b. Petugas TPT mencetak Bukti Penerimaan Surat (BPS)/ Lembar Pengawasan Arus Dokumen (LPAD). BPS dipisahkan untuk diserahkan kepada Wajib Pajak sedangkan LPAD digabungkan dengan berkas pendaftaran kemudian diteruskan kepada Pelaksana Seksi Pelayanan/ Pelaksana Seksi Tata Usaha Perpajakan (TUP).
c. Pelaksanaan Seksi Pelayanan/Pelaksana Seksi TUP merekam berkas pendaftaran Wajib Pajak dan mencetak konsep Surat Keterangan Terdaftar (SKT) serta Kartu NPWP kemudian menyerahkannya kepada Kepala Seksi Pelayanan/ Kepala Seksi TUP.
SKT diterbitkan dalam rangkap dua :
 Lembar ke-1 : untuk Wajib Pajak
 Lembar ke-2 : untuk arsip Kantor Pelayanan Pajak
d. Kepala Seksi Pelayanan/ Kepala Seksi TUP meneliti dan menandatangani SKT kemudian menyerahkannya kepada Pelaksana Seksi Pelayanan/ Pelaksana Seksi TUP.
e. Pelaksana Seksi Pelayanan/Pelaksana Seksi TUP menerima dokumen yang telah ditandatangani, memberi nomor, memberi stempel kantor, memisahkan SKT untuk arsip dengan SKT dan kartu NPWP yang akan diserahkan kepada Wajib Pajak.
f. Pelaksana Seksi Pelayanan/Pelaksana Seksi TUP mengarsipkan dan menyerahkan SKT dan kartu NPWP kepada Wajib Pajak.
g. Jangka waktu penyelesaian pemberian NPWP paling lama 1 (satu) jam sejak permohonan diterima.
h. Kepala Seksi Pelayanan/Kepala Seksi TUP bertanggung jawab terhadap terpenuhinya jangka waktu pemberian NPWP dan pelaksanaan pelayanannya.

2. e-Registration melalui Pojok Pajak/ Mobil Pajak Keliling
Tata cara pelayanan pemberian NPWP melalui e-Registration Pojok Pajak/ Mobil Pajak Keliling adalah sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-30/PJ/2006 tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak Melalui Pojok Pajak.

3. e-Registration melalui internet
Tata cara pemberian NPWP dengan e-Registration melalui internet adalah sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-173/PJ/2004 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dengan Sistem e-Registration.

B. Selain tata cara pendaftaran yang langsung ke KPP sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf A, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh KPP (Kantor Pelayanan Pajak) yaitu sebagai berikut:

1. Dalam hal persyaratan permohonan NPWP belum terpenuhi, permohonan Wajib Pajak dikembalikan untuk dilengkapi.
2. Dalam hal Kepala Seksi Pelayanan/ Kepala Seksi TUP tidak ada ditempat, SKT dapat dikirimkan kemudian, kartu NPWP diberikan.
3. Termasuk dalam kriteria Wajib Pajak yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun 2008 adalah Wajib Pajak yang memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak berdasarkan hasil ekstensifikasi pada tahun 2008.

 KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: KEP-161/PJ./2001 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-160/PJ/2007 TENTANG JANGKA WAKTU PENDAFTARAN DAN PELAPORAN KEGIATAN USAHA, TATA CARA PENDAFTARAN DAN PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, SERTA PENGUKUHAN DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK.
Dalam kaitannya dengan pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak, peraturan ini memuat beberapa hal yaitu :
A. Wajib Pajak atau orang yang diberi kuasa khusus yang mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan formulir pendaftaran ke Kantor Pelayanan Pajak.
B. Berdasarkan formulir pendaftaran sebagaimana dimaksud diatas, Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak dan Surat Keterangan Terdaftar.
C. Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak dan Surat Keterangan Terdaftar paling lama pada hari kerja berikutnya setelah permohonan pendaftaran beserta persyaratannya diterima secara lengkap.
D. Dalam hal Wajib Pajak melakukan pendaftaran sekaligus melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, maka Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, Surat Keterangan Terdaftar, dan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diterbitkan secara bersamaan paling lama 3 (tiga) hari kerja berikutnya setelah permohonan pendaftaran dan pelaporan beserta persyaratannya diterima secara lengkap.
 SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE-59/PJ/2007 TENTANG PENYAMPAIAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER-160/PJ/2007 TENTANG JANGKA WAKTU PENDAFTARAN DAN PELAPORAN KEGIATAN USAHA, TATA CARA PENDAFTARAN DAN PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, SERTA PENGUKUHAN DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK.
Ketentuan mengenai Tata Cara Pendaftaran Pemberian NPWP menurut surat edaran ini adalah :
1. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas :
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi Penduduk Indonesia, atau paspor ditambah surat pernyataan tempat tinggal/domisili dari yang bersangkutan bagi orang asing (bentuk formulir sebagaimana dalam angka VII Lampiran I PER-160/PJ./2007).
2. Untuk Wajib Pajak Pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia, atau paspor ditambah surat pernyataan tempat tinggal/domisili dari yang bersangkutan bagi orang asing (bentuk formulir sebagaimana dalam angka VII Lampiran I PER-160/PJ./2007).
b. Surat pernyataan tempat kegiatan usaha atau usaha pekerjaan bebas dari Wajib Pajak ( bentuk formulir sebagaimana dalam angka VI Lampiran I PER-160/PJ./2007).
3. Untuk Wajib Pajak Badan :
a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia, atau paspor ditambah surat pernyataan tempat tinggal/domisili dari yang bersangkutan bagi orang asing (bentuk formulir sebagaimana dalam angka VII Lampiran I PER-160/PJ./2007) dari salah seorang pengurus efektif.
b. Surat pernyataan tempat kegiatan usaha dari salah seorang pengurus aktif ( bentuk formulir sebagaimana dalam angka VI Lampiran I PER-160/PJ./2007).
4. Untuk Joint Operation sebagai Wajib Pajak Pemungut/Pemotong:
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi penduduk Indonesia, atau paspor ditambah surat pernyataan tempat tinggal/domisili dari yang bersangkutan bagi orang asing (bentuk formulir sebagaimana dalam angka VII Lampiran I PER-160/PJ./2007). dari salah seorang pengurus Joint Operation.

KESIMPULAN

A. Pengertian Umum
a. Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disebut dengan NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya, yang terdiri dari 15 (lima belas) digit, yaitu 9 (sembilan) digit pertama merupakan Kode Wajib Pajak dan 6 (enam) digit berikutnya merupakan Kode Administrasi Perpajakan
b. Elektronik NPWP (e-NPWP) adalah program aplikasi yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah untuk merekam nama dan identitas Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik dan Pegawai yang berpenghasilan di atas PTKP dan belum ber-NPWP.
c. Aplikasi Pendaftaran Wajib Pajak Massal (PWPM) adalah program aplikasi yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memproses pemberian NPWP Orang Pribadi berdasarkan e-NPWP atau Daftar Nominatif.

B. Fungsi NPWP
1) Sarana dalam administrasi perpajakan.
2) Tanda pengenal diri atau Identitas WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
3) Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan.
4) Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan.

C. Cara Pendaftaran NPWP:
Untuk memperoleh NPWP, Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri pada KPP, atau KP4 dengan mengisi formulir pendaftaran dan melampirkan persyaratan administrasi yang diperlukan, atau dapat pula mendaftarkan diri secara on-line melalui e-register.

1) Datang Langsung ke KPP
Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak di KPP adalah sebagai berikut :
1. Wajib Pajak harus mengisi Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak secara lengkap dan jelas. Dalam hal Wajib Pajak membutuhkan bantuan dalam mengisi formulir tersebut dapat menanyakan kepada Petugas Pendaftaran Wajib Pajak.
2. Wajib Pajak menyerahkan Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak yang telah diisi secara lengkap dan jelas serta ditandatangani Wajib Pajak atau kuasanya kepada Petugas Pendaftaran Wajib Pajak.
3. Dalam hal formulir permohonan sebagaimana dimaksud pada butir 1 belum diisi secara lengkap, Petugas Pendaftaran Wajib Pajak mengembalikan formulir kepada pemohon untuk dilengkapi.
4. Wajib Pajak menerima Bukti Penerimaan Surat (BPS) yang telah di ditandatangani oleh petugas pendaftaran setelah Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak dilengkapi.
5. Dalam hal Wajib Pajak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, kepada Wajib Pajak diberikan SKT dan Kartu NPWP.
6. Jangka waktu penyelesaian permohonan pendaftaran NPWP paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.
7. Setelah menerbitkan SKT dan Kartu NPWP, Kepala Kantor dalam jangka waktu paling lama 1 tahun menugaskan petugas konfirmasi lapangan untuk melakukan konfirmasi lapangan dengan prioritas sesuai tingkat resiko Wajib Pajak Baru dalam rangka membuktikan kebenaran pengisian formulir/ data yang disampaikan Wajib Pajak.

2) e-Registration
e-Registration adalah cara memperoleh NPWP secara on-line. WP cukup mendaftarkan dirinya via internet dan mengirimkan berkas-berkas yang dibutuhkan secara surat tercatat kepada KPP yang ditunjuk.
Tata cara pelayanan pemberian NPWP melalui e-Registration Pojok Pajak/ Mobil Pajak Keliling adalah sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-30/PJ/2006 tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak Melalui Pojok Pajak. Sedangkan Tata cara pemberian NPWP dengan e-Registration melalui internet adalah sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-173/PJ/2004 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dengan Sistem e-Registration.

Tata cara pendaftarannya :
1) Masuk ke Aplikasi e-Registration lewat http://www.pajak.go.id
2) Membuat Acount Wajib Pajak seperti halnya mendaftar e-mail di internet.
3) Mengisi data-data yang diperlukan dalam pembuatan account itu (semua ini terbentuk dalam suatu formulir permohonan elektronis).
4) Mencetak Formulir Permohonan Registrasi Wajib Pajak dan menandatanganinya.
5) Mencetak Surat Keterangan Terdaftar Sementara (SKTS).
6) Mengirim Formulir Permohonan Registrasi yang telah ditandatangani dan SKTS dengan melampirkan persyaratan lainnya ke KPP tempat Wajib Pajak Mendaftarkan diri.
7) Menerima Surat Keterangan Terdaftar yang sudah ditandatangani Kasi TUP / Kasi Pelayanan dan Kartu NPWP Magnetik dari KPP terdaftar
Tujuan dengan adanya e-Registration:
a. Memberikan kemudahan bagi WP untuk mendaftar kapanpun serta dimana saja dan memperoleh NPWP saat itu juga.
b. Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan juga mengefisienkan operasional dan administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
c. Memberikan fasilitas terkini bagi Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri secara online dengan memanfaatkan teknologi internet.
d. Memudahkan Petugas Pajak dalam melayani dan memproses pendaftaran Wajib Pajak.
e. Menghilangkan hubungan langsung antara Wajib Pajak dan Aparat Pajak/Petugas Pajak.

3) PWPM (Pendaftaran Wajib Pajak Masal) yang biasanya dilakukan untuk karyawan.

a. Untuk pemberian NPWP Setiap Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik dan Pegawai dengan penghasilan di atas PTKP, Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah membuat Daftar Nominatif dan atau mengisi e-NPWP, dan menyampaikannya ke KPP Lokasi.
b. Penyampaian Daftar Nominatif dan atau e-NPWP yang telah diisi berfungsi sebagai permohonan pendaftaran Wajib Pajak oleh masing-masing calon Wajib Pajak Orang Pribadi secara Massal.
c. Kemudian akan dilakukan proses seperti permohonan NPWP secara normal, dan terhadap orang pribadi yang memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak berdasarkan Daftar Nominatif dan atau e-NPWP diberikan kartu NPWP oleh KPP Lokasi sesuai domisili Wajib Pajak.

D. Persyaratan / Data pendukung yang perlu disiapkan oleh Wajib Pajak untuk mengisi formulir permohonan Nomor Pokok Wajib Pajak antara lain sebagai berikut :
1. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas :
a. Bagi penduduk Indonesia: fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Fotokopi Kartu Keluarga (KK).
b. Bagi orang asing: fotokopi paspor ditambah surat pernyataan tempat tinggal/ domisili dari yang bersangkutan (bentuk formulir sebagaimana dalam angka VII Lampiran I PER-160/PJ./2007).
Yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Atau Kantor Penyuluhan, Pelayanan Dan Konsultasi Pajak (KP2KP) sesuai dengan domisili wajib pajak.
2. Untuk Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas:
a. Bagi penduduk Indonesia: fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Fotokopi Kartu Keluarga (KK)
b. Bagi orang asing: fotokopi paspor ditambah surat pernyataan tempat tinggal/ domisili dari yang bersangkutan (bentuk formulir sebagaimana dalam angka VII Lampiran I PER-160/PJ./2007) dan
c. Surat pernyataan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari Wajib Pajak (bentuk formulir sebagaimana dalam angka VI Lampiran I PER-160/PJ./2007).
Yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Atau Kantor Penyuluhan, Pelayanan Dan Konsultasi Pajak (KP2KP) sesuai dengan domisili wajib pajak.
3. Untuk Wajib Pajak Badan Usaha :
a. Fotokopi Akte Pendirian Perusahaan
b. Fotokopi KTP Pengurus
c. Fotokopi SIUP
d. Surat Keterangan Kegiatan Usaha Dari Lurah
Yang disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Penyuluhan, Pelayanan Dan Konsultasi Pajak (KP2KP) sesuai dengan domisili wajib pajak.

4. Untuk Bendaharawan sebagai Pemungut/ Pemotong:

a. Fotokopi KTP bendaharawan.
b. Fotokopi surat penunjukkan sebagai bendaharawan.

5. Untuk Joint Operation sebagai Wajib Pajak Pemungut/ Pemotong:

a. Bagi penduduk Indonesia : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk, atau
b. Bagi orang asing Fotokopi paspor ditambah surat pernyataan tempat tinggal/domisili dari yang bersangkutan (bentuk formulir sebagaimana dalam angka VII Lampiran I PER-160/PJ./2007) dari salah seorang pengurus Joint Operation.

6. Wajib Pajak dengan status cabang, orang pribadi pengusaha tertentu atau wanita kawin tidak pisah harta harus melampirkan foto kopi surat keterangan terdaftar.
7. Apabila permohonan ditandatangani orang lain harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus.



PELAPORAN SURAT PEMBERITAHUNAN (SPT)

DASAR HUKUM YANG MENGATUR TENTANG PELAPORAN SURAT PEMBERITAHUAN (SPT) :
I. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 152/PMK.03/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 181/PMK.03/2007 Tentang Bentuk Dan Isi Surat Pemberitahuan, Serta Tata Cara Pengambilan Pengisian, Penandatanganan, Dan Penyampaian Surat Pemberitahuan.
II. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-06/PJ/2009 Tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Dalam Bentuk Elektronik.
III. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-47/PJ/2008 Jo KEP-05/PJ./2005 Tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Secara Elektronik (E-Filling) Melalui Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP).


 PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 152/PMK.03/2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 181/PMK.03/2007 TENTANG BENTUK DAN ISI SURAT PEMBERITAHUAN, SERTA TATA CARA PENGAMBILAN PENGISIAN, PENANDATANGANAN, DAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN.
Dalam kaitannya dengan tata cara pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) peraturan ini memuat beberapa ketentuan yaitu :
1. SPT berbentuk formulir kertas (hardcopy) dapat diambil secara langsung di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
2. SPT berbentuk e-SPT, aplikasinya dapat:
a. Diambil secara langsung oleh Wajib Pajak di Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan; atau
b. Diunduh dari website Direktorat Jenderal Pajak.

3. Penyampaian SPT oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak, atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, dapat dilakukan:
a. Secara langsung
b. Melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c. Dengan cara lain yaitu melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau e-Filling.
4. Atas penyampaian SPT secara langsung maka diberikan tanda penerimaan surat dan atas penyampaian SPT melalui pos dengan bukti pengiriman surat maka diberikan Bukti Penerimaan Elektronik.
5. Bukti Pengiriman surat melalui pos dan melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir tanda penerimaan surat serta Bukti Penerimaan Elektronik menjadi bukti penerimaan SPT.

 PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-06/PJ/2009 TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN DALAM BENTUK ELEKTRONIK (e-SPT).
e-SPT adalah data SPT Wajib Pajak dalam bentuk elektronik yang dibuat oleh Wajib Pajak dengan menggunakan aplikasi e-SPT yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Ketentuan yang diatur dalam peraturan ini :
1. Saat dimulainya penyampaian e-SPT diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Bagi Wajib Pajak yang telah ditetapkan terdaftar di KPP berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang berlaku sebelum Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini ditetapkan, terhitung sejak tanggal 1 Juli 2009.
b. Bagi Wajib Pajak yang ditetapkan terdaftar di KPP berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang berlaku setelah berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, terhitung sejak awal bulan keenam setelah bulan Wajib Pajak ditetapkan.
2. Wajib Pajak yang dalam menyampaikan SPT:
a. Tidak memenuhi ketentuan atau
b. Memenuhi ketentuan tetapi tidak melampirkan keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dianggap tidak menyampaikan SPT dan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Wajib Pajak dapat menyampaikan e-SPT sebelum tanggal yang telah ditentukan apabila dikehendaki oleh Wajib Pajak.
4. Penyampaian e-SPT oleh Wajib Pajak ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dapat dilakukan:
a. Secara langsung atau melalui pos/ perusahaan jasa ekspedisi/ kurir dengan bukti pengiriman surat dengan membawa atau mengirimkan formulir Induk SPT Masa PPh dan/ atau SPT Masa PPN dan/ atau SPT Tahunan PPh hasil cetakan e-SPT yang telah ditandatangani dan file data SPT yang tersimpan dalam bentuk elektronik serta dokumen lain yang wajib dilampirkan atau
b. Melalui e-Filling sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5. Penyampaian e-SPT dilaksanakan dengan prosedur sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran yang tak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
6. Pembetulan atas SPT yang telah disampaikan dalam bentuk elektronik (e-SPT), wajib disampaikan dalam bentuk elektronik (e-SPT).
7. Pembetulan atas SPT yang telah disampaikan dalam bentuk kertas (hardcopy), dapat disampaikan dalam bentuk elektronik (e-SPT) atau dalam bentuk bentuk kertas (hardcopy).


 PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-47/PJ/2008 JO KEP-05/PJ./2005 TENTANG TATA CARA PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN SECARA ELEKTRONIK (E-FILLING) MELALUI PERUSAHAAN PENYEDIA JASA APLIKASI (ASP).
Hal-hal yang dapat termuat dalam peraturan ini diantaranya adalah :
1. Penyampaian Surat Pemberitahuan secara elektronik (e-Filing) adalah suatu cara penyampaian Surat Pemberitahuan yang dilakukan melalui sistem on-line yang real time.
2. Penyedia Jasa Aplikasi atau Application Service Provider (ASP) adalah perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yang telah ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai perusahaan yang dapat menyalurkan penyampaian Surat Pemberitahuan secara elektronik ke Direktorat Jenderal Pajak.
3. Electronic Filing Identification Number (eFIN) adalah nomor identitas yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar kepada Wajib Pajak yang mengajukan permohonan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan secara elektronik (e-Filing).
4. Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan secara elektronik (e-Filing) melalui satu atau beberapa Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
5. Perusahaan penyedia jasa aplikasi (ASP) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Berbentuk badan
b. Memiliki izin usaha penyedia jasa aplikasi (ASP)
c. Mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
d. Menandatangani perjanjian dengan Direktorat Jenderal Pajak.
6. Perusahaan penyedia jasa aplikasi (ASP) yang memenuhi syarat dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar ditunjuk sebagai Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yang dapat menyalurkan SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan secara elektronik.
7. Wajib Pajak yang akan menyampaikan SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan secara elektronik harus memiliki Electronic Filing Identification Number (e-FIN) dan memperoleh Sertifikat (digital certificate) dari Direktorat Jenderal Pajak.
8. Electronic Filling Identification Number (e-FIN) diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar berdasarkan surat permohonan Wajib Pajak sesuai dengan contoh sebagaimana tersebut pada Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
9. Permohonan dapat disetujui apabila alamat yang tercantum pada permohonan sama dengan alamat dalam database (Master File) Wajib Pajak di Direktorat Jenderal Pajak.
10. Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus memberikan keputusan atas permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak untuk memperoleh Electronic Filing Identification Number (e-FIN) paling lama 2 (dua) hari kerja sejak permohonan diterima dengan lengkap dan benar.
11. Dalam hal Electronic Filing Identification Number (e-FIN) hilang, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pencetakan ulang dengan syarat menunjukkan asli kartu Nomor Pokok Wajib Pajak atau Surat Keterangan Terdaftar, atau bagi Pengusaha Kena Pajak dengan syarat menunjukkan asli Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
12. Wajib Pajak yang sudah mendapatkan Electronic Filing Identification Number (e-FIN) harus mendaftarkan diri melalui website pada satu atau beberapa Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yang ditunjuk olehDirektur Jenderal Pajak.
13. Setelah mendaftarkan diri, Wajib Pajak akan memperoleh Digital Certificate (DC) dari Direktorat Jenderal Pajak melalui Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) dimana Wajib Pajak mendaftarkan diri.
14. Digital Certificate (DC) seterusnya akan digunakan sebagai alat yang berfungsi sebagai pengaman data Wajib Pajak dalam setiap proses penyampaian SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan secara elektronik (e-Filing) melalui suatu Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi(ASP) ke Direktorat Jenderal Pajak.
15. Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) harus mengirimkan:
a. Tata cara pelaksanaan e-Filing.
b. Aplikasi dan petunjuk penggunaan e-SPT dan e-SPTy; dan
c. Informasi lainnya kepada Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri.
16. e-SPT dan e-SPTy yang telah diisi dan dilengkapi sesuai dengan ketentuan serta dibubuhi tanda tangan elektronik atau tanda tangan digital disampaikan secara elektronik ke Direktorat Jenderal Pajak melalui suatu Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP).
17. Tanda Tangan Elektronik atau Tanda Tangan Digital adalah suatu informasi elektronik yang di generate oleh Sistem Direktorat Jenderal Pajak.
18. Dalam hal SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan menunjukkan adanya kewajiban pembayaran pajak, Wajib Pajak wajib mencantumkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara pada e-SPT dan e-SPTy sebagai bukti pembayaran yang telah divalidasi.
19. Apabila e-SPT dan e-SPTy dinyatakan lengkap oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka kepada WajibPajak diberikan Bukti Penerimaan Elektronik.
20. Penyampaian SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan secara elektronik (e-Filing) dapat dilakukan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu dengan standar Waktu IndonesiaBagian Barat.
21. SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan yang disampaikan secara elektronik pada akhir batas waktu Penyampaian SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan yang jatuh pada hari libur, dianggap disampaikan tepat waktu.
22. Wajib Pajak wajib menyampaikan keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan dalam SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan yang tidak dapat disampaikan secara elektronik ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar secara langsung atau melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat, atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat, kecuali SSP lembar 3 yang dibayarkan melalui Bank Persepsi dan Nomor Transaksi Penerimaan Negara sudah dicantumkan dalam e-SPT dan/atau e-SPTy, paling lama:
a. 14 (empat belas) hari sejak batas terakhir pelaporan SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan dalam hal SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan disampaikan sebelum batas akhir penyampaian.
b. 14 (empat belas) hari sejak tanggal penyampaian SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan secara elektronik dalam hal SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan disampaikan setelah lewat batas akhir penyampaian. dengan surat pengantar sesuai dengan contoh sebagaimana tersebut pada Lampiran II Peraturan Direktur Pajak ini.
23. Apabila Wajib Pajak telah memenuhi kewajiban, SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan dianggap telah diterima dan tanggal penerimaan SPT sesuai dengan tanggal yang tercantum pada Bukti Penerimaan Elektronik.
24. Apabila kewajiban menyampaikan keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan dalam e-SPT dan e-SPTy disampaikan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat, atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat, tanggal penerimaan keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan dalam e-SPT dan e-SPTy adalah tanggal yangtercantum pada bukti pengiriman surat.
25. Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan Keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan dalam e-SPT dan e-SPTy dalam jangka waktu yan telah ditentukan, Wajib Pajak dianggap tidak menyampaikan SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan.
26. Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) wajib memberikan jaminan kepada Wajib Pajak bahwa SPT atau Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan beserta lampirannya yang disampaikan secara elektronik dijamin kerahasiaannya, diterima di Direktorat Jenderal Pajak secara lengkap danreal time serta diakui oleh pihak Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak.

KESIMPULAN
Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disebut SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
SPT yang wajib dilaporkan oleh Wajib Pajak meliputi :
1. SPT Tahunan Pajak Penghasilan;
2. SPT Masa Yang Terdiri dari:
a. SPT Masa Pajak Penghasilan.
b. SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai; dan
c. SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
SPT dapat berupa:
1. Formulir kertas (hardcopy), yang dapat diambil secara langsung di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.; atau
2. Formulir elektronik (e-SPT dan e-filling), yang dapat diambil secara langsung oleh Wajib Pajak atau dengan cara lain yaitu dengan mengunduh format SPT atau aplikasi e-SPT serta dengan melalui provider resmi dari situs Direktorat Jenderal Pajak.
Cara Pelaporan SPT
1. Datang Langsung ke KPP atau Jasa Pengiriman (Fisik SPT)
Datang Langsung ke KPP; SPT induk dan lampirannya dilaporkan ke KPP dimana Wajib Pajak terdaftar. Setelah melalui proses pengecekan dan verifikasi maka SPT akan diproses. Bukti pelaporan diberikan tanda penerimaan surat dari TPT.
Melalui pos dengan bukti pengiriman surat; dengan mengirimkan formulir Induk SPT Masa pph dan/atau SPT Masa PPN dan/atau SPT Tahunan pph serta dokumen lain yang wajib dilampirkan. Bukti pelaporan penyampaian melalui pos atau jasa ekspedisi/kurir bukti pengiriman surat dianggap sebagai tanda terima SPT.

2. E-SPT
e-SPT adalah data SPT Wajib Pajak dalam bentuk elektronik yang dibuat oleh Wajib Pajak dengan menggunakan aplikasi e-SPT yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

3. E-Filling
e-Filling adalah suatu cara penyampaian SPT atau Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan yang dilakukan secara on-line yang real time melalui website Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id) atau Penyedia Jasa Aplikasi atau Application Service Provider (ASP).

Perbandingan e-SPT dengan SPT Manual
1. E-SPT
a. Data Pelaporan SPT terorganisasi dengan baik
b. Perhitungan perpajakan dilakukan oleh system
c. Hanya dibutuhkan disket atau CD untuk melaporkan SPT ke KPP
d. Data SPT Wajib Pajak dengan cepat bisa dilihat oleh KPP
e. Meringankan beban kerja di Kantor Pelayanan Pajak
2. SPT Manual
a. Data pelaporan SPT tidak terkelola dengan baik
b. Membutuhkan waktu untuk proses perhitungan pajaknya
c. Dibutuhkan kertas berlembar-lembar untuk melaporkan SPT ke KPP
d. Dibutuhkan proses perekaman SPT terlebih dahulu untuk dapat melihat data SPT Wajib Pajak
e. Waktu banyak digunakan untuk melakukan perekaman SPT
Tujuan e-SPT & e-Filling
Baik e-SPT maupun e-Filing mempunyai maksud tujuan yang sama yaitu :
1. Mempermudah WP dalam rangka memenuhi kewajibannya untuk melakukan pelaporan pajak.
2. Menghilangkan kemungkinan kesalahan data akibat dari human error / kesalahan petugas pajak dalam pengetikan ulang pada saat entry data SPT ke Database Pajak.
3. Merupakan komitmen dari Ditjen Pajak untuk menutup segala celah yang dapat digunakan oleh para oknum pajak ‘bermain mata’ dengan wajib pajak yang nakal.

Manfaat dengan adanya e-SPT
1. Bagi Kantor Pajak
a. Mengurangi beban kerja Kantor Pelayanan Pajak dalam melakukan proses perekaman data SPT.
b. Memudahkan proses pencarian data SPT wajib pajak.
c. Keakuratan data terjamin, karena semua perekaman dilakukan oleh Wajib Pajak.
2. Bagi Wajib Pajak
a. Data perpajakan yang terorganisasi dengan baik
Sistem aplikasi e-SPT mengorganisasikan data perpajakan perusahaan dengan baik dan sistematis.

b. Mempermudah dalam perhitungan pelaporan SPT.
Operator Entry hanya diperlukan untuk menginput data SPT dalam sistem aplikasi e-SPT, dan sistem akan melakukan penghitungan perpajakan yang kompleks dengan mudah dan akurat.

c. Kemudahan dalam pembuatan laporan pajak
Dengan hasil entry yang telah dilakukan operator, cukup dengan beberapa langkah dapat melakukan cetak laporan SPT dengan seluruh perhitungannya.

d. Kemudahan dan efisien untuk pelaporan pajak.
Sistem aplikasi e-SPT memiliki kemampuan untuk membuat SPT dalam media penyimpanan (disket) dengan format tertentu sehingga memudahkan dalam pelaporan laporan perpajakan ke Kantor Pelayanan Pajak (tidak perlu membuat laporan yang bertumpuk-tumpuk) dan memiliki keamanan yang pasti.

Senin, 23 Agustus 2010

BANDING DAN PENINJAUAN KEMBALI PERPAJAKAN


DASAR HUKUM
I. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
II. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.
III. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE -28/PJ/2010 Tentang Prosedur Penanganan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan dan Persiapan Menghadiri Persidangan Banding atau Gugatan di Pengadilan Pajak.


A. DEFINISI-DEFINISI
Dalam pembahasan mengenai Banding, perlu dibedakan antara Sengketa pajak, Gugatan dan Banding.
• Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan Banding, berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
• Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
• Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan Pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku atau dengan kata lain bahwa materi dalam gugatan yaitu materi yang bersifat formal.

Selain itu terdapat beberapa istilah yang sering dijumpai dalam pembahasan mengenai Banding yaitu :
• Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.
• Surat Uraian Banding adalah surat terbanding kepada Pengadilan Pajak yang berisi jawaban atas alasan Banding yang diajukan oleh pemohon Banding.
• Surat Tanggapan adalah surat dari tergugat kepada Pengadilan Pajak yang berisi jawaban atas Gugatan yang diajukan oleh penggugat.
• Surat Bantahan adalah surat dari pemohon Banding atau penggugat kepada Pengadilan Pajak yang berisi bantahan atas surat uraian Banding atau Surat Tanggapan.

B. HAK-HAK PEMOHON BANDING
Dalam mengajukan Banding, maka pemohon Banding memiliki beberapa hak :
1. Pemohon Banding dapat melengkapi Surat Bandingnya untuk memenuhi ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterima keputusan yang dibanding.
2. Pemohon Banding dapat memasukkan Surat Bantahan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh hari) sejak tanggal terima salinan Surat Uraian Banding.
3. Dapat hadir dalam persidangan guna memberikan keterangan lisan atau bukti-bukti yang diperlukan sepanjang memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Pajak secara tertulis.
4. Dapat hadir dalam sidang Pembacaan Putusan.
5. Dapat didampingi atau diwakili oleh Kuasa Hukum yang telah terdaftar/mendapat ijin Kuasa Hukum dari Ketua Pengadilan Pajak.

C. PERSYARATAN PENGAJUAN BANDING
Dalam pengajuan Banding kepada pengadilan pajak terdapat syarat formal dan syarat material yang harus dipenuhi, yaitu antara lain:
1. Syarat Formal menurut Pasal 35 Undang-Undang Pengadilan Pajak:
a. Diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia Kepada Pengadilan Pajak.
b. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima keputusan yang dibanding kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan atau dalam hal ini yaitu terjadi force majeur.

2. Syarat Material menurut Pasal 36 Undang-Undang Pengadilan Pajak:
a. Terhadap 1 (satu) keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.
b. Banding diajukan dengan disertai alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
c. Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang disbanding.
d. Dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hal banding:
1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan keberatan yang ditetapkan oleh Dirjen Pajak.
2) Putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan tata usaha negara.
3) Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajibannya membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
4) Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya.
5) Apabila selama proses Banding, pemohon Banding meninggal dunia, Banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya, atau pengampunya dalam hal pemohon Banding pailit.
6) Apabila selama proses Banding pemohon Banding melakukan penggabungan, peleburan, pemecahan/ pemekaran usaha, atau likuidasi, permohonan dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima pertanggungjawaban karena penggabungan, peleburan, pemecahan /pemekaran usaha, atau likuidasi dimaksud.
7) Pemohon Banding dapat melengkapi Surat Bandingnya untuk memenuhi ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima keputusan yang dibanding kecuali force majeur.
8) Terhadap Banding dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada Pengadilan Pajak.
9) Banding yang dicabut kemudian dihapus dari daftar sengketa dengan:
a) Penetapan Ketua dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum sidang dilaksanakan.
b) Putusan Majelis/ Hakim Tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat pernyataan pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan terbanding.
c) Banding yang telah dicabut melalui penetapan atau putusan maka tidak dapat diajukan kembali.
d) Dapat meminta kepada Majelis kehadiran saksi.

Beberapa hal yang dikecualikan dalam pengajuan Banding :
1. Pengajuan Banding dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan tidak mengikat apabila dalam jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaan pemohon banding.
2. Pemohon Banding tidak harus melampirkan bukti pembayaran 50 % pajak yang terutang, sepanjang Banding diajukan atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).

D. PROSEDUR PENANGANAN SURAT URAIAN BANDING
Sebagai pedoman prosedur penanganan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan dan untuk meningkatkan kualitas persidangan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak di Pengadilan Pajak, maka terdapat beberapa ketentuan diantaranya :
1. Pembuatan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan atas permintaan Pengadilan Pajak dalam rangka persidangan banding atau gugatan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Surat Uraian Banding harus diselesaikan dan disampaikan ke Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim permintaan Surat Uraian Banding, dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 28/PJ/2010.
b. Surat Tanggapan harus diselesaikan dan disampaikan ke Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal dikirim permintaan Surat Tanggapan, dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 28/PJ/2010.
c. Surat Uraian Banding yang dikirim ke Pengadilan Pajak dilampiri dengan data pendukung yang berupa :
1) Fotokopi :
• Surat ketetapan pajak (SKPKB, SKPKBT, SKPLB, atau SKPN) beserta bukti pengirimannya, untuk keberatan PPh atau PPN dan PPnBM.
• SKP atau SPPT PBB beserta bukti pengirimannya, untuk keberatan PBB; atau
• SKBKB, SKBKBT, SKBLB, SKBN beserta bukti pengirimannya, untuk keberatan BPHTB.
2) Fotokopi surat keberatan beserta tanda terima dari KPP yang bersangkutan (LPAD); dan
3) Fotokopi surat keputusan yang diajukan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang KUP beserta bukti pengirimannya.
d. Surat Tanggapan yang dikirim ke Pengadilan Pajak dilampiri dengan data pendukung:
1) Fotokopi dokumen yang diajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-undang KUP; dan
2) Fotokopi bukti pengiriman objek gugatan.
e. Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan beserta data pendukungnya dikirim oleh Kanwil DJP ke Pengadilan Pajak dengan tembusan harus dikirim ke Direktorat Keberatan dan Banding yang dilengkapi :
1) Fotokopi Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) beserta Kertas Kerja Pemeriksaan (KKP).
2) Fotokopi Laporan Penelitian Keberatan dan Kertas Kerja Penelitian Keberatan atau Laporan Penelitian lainnya atas obyek yang diajukan gugatan.

2. Direktur Keberatan dan Banding sesuai dengan kewenangannya menerbitkan Surat Tugas untuk menghadiri sidang banding atau gugatan di Pengadilan Pajak paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak surat permintaan menghadiri sidang banding atau gugatan diterima dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 28/PJ/2010.
3. Petugas sidang yang ditunjuk dalam melaksanakan tugas harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Mempersiapkan dan mempelajari berkas-berkas yang akan digunakan dalam persidangan.
b. Membuat resume pokok sengketa dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 28/PJ/2010.
c. Membuat laporan hasil sidang banding atau gugatan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal sidang banding atau gugatan dilaksanakan dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran V Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 28/PJ/2010.
4. Direktorat Keberatan dan Banding dapat meminta kehadiran Pemeriksa/ Penelaah Keberatan /Fungsional Penilai PBB/Saksi/pihak ketiga lainnya yang dipandang perlu untuk memberikan penjelasan dalam persidangan banding atau gugatan dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VI Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 28/PJ/2010.

E. PEMPROSESAN SURAT BANDING
Dalam hal pemrosesan surat Banding adalah sebagai berikut :
1. Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak.
2. Ditujukan kepada Pengadilan Pajak dengan melampirkan:
a. Salinan keputusan yang disbanding.
b. Bukti pembayaran sebesar 50 % dari pajak yang terutang yang disbanding.
c. Data dan bukti-bukti pendukung (SKP, Surat Permohonan Keberatan, SPT, Laporan Keuangan dll.
3. Pemohon Banding dapat melengkapi bandingnya untuk memenuhi ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterima Keputusan yang dibanding.
4. Paling lambat 14 (empat belas hari) sebelum persidangan dimulai, Pemohon Banding mendapat pemberitahuan sidang.

F. PERSIAPAN PERSIDANGAN
Banding yang diajukan oleh oleh Wajib Pajak atau penanggung Pajak kepada Pengadilan Pajak mengikuti beberapa ketentuan yaitu :
1. Pengadilan Pajak meminta Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan atas Surat Banding atau Surat Gugatan kepada terbanding atau tergugat dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima Surat Banding atau Surat Gugatan.
2. Dalam hal pemohon Banding mengirimkan Surat atau dokumen susulan kepada Pengadilan Pajak, jangka waktu 14 (empat belas) hari dihitung sejak tanggal diterima surat atau dokumen susulan dimaksud.
3. Terbanding atau tergugat menyerahkan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan dalam jangka waktu:
a. 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim permintaan Surat Uraian banding; atau
b. 1 (satu) bulan sejak tanggal dikirim permintaan Surat Tanggapan.
4. Salinan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan oleh Pengadilan Pajak dikirim kepada pemohon Banding atau penggugat dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima.
5. Pemohonan Banding atau penggugat dapat menyerahkan Surat Bantahan kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima salinan Surat Uraian Banding atau Surat Tanggapan.
6. Salinan Surat Bantahan dikirimkan kepada terbanding atau tergugat, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal diterima Surat Bantahan.
7. Apabila terbanding atau tergugat, atau pemohon Banding atau penggugat tidak memenuhi ketentuan penyerahan Surat Uraian Banding dalam batas waktu yang telah ditentukan maka Pengadilan Pajak tetap melanjutkan pemeriksaan Banding atau Gugatan.
8. Pemohon Banding atau penggugat dapat memberitahukan kepada Ketua untuk hadir dalam persidangan guna memberikan keterangan lisan.
Alat bukti yang digunakan dalam hal banding dapat berupa:
a. Surat atau tulisan.
b. Keterangan ahli.
c. Keterangan para saksi.
d. Pengakuan para pihak; dan/atau
e. Pengetahuan Hakim

G. PROSES PELAKSANAAN BANDING
Prosedur dan Tata Cara banding, termasuk batasan jangka waktunya, telah ditetapkan di dalam ketentuan UU Pengadilan Pajak. Gambar berikut mengilustrasikan proses pelaksanaan banding, dimulai dari terbitnya SKP sampai ke Putusan Banding.
Dalam ketentuan Pasal 45 ayat (5) UU Pengadilan Pajak telah ditegaskan, bahwa Pengadilan Pajak tetap akan melanjutkan pemeriksaan banding meskipun fiskus tidak menyerahkan Surat Uraian banding (SUB) atau Surat Tanggapan dan WP Pemohon Banding tidak menyampaikan Surat Bantahan. Hal itu bisa diartikan, pembuatan SUB oleh fiskus maupun Surat Bantahan oleh WP bukan merupakan suatu keharusan. Namun, baik SUB maupun Surat Bantahan sebenarnya sangat penting. Sebab, keduanya bisa menjadi saran untuk saling menyampaikan pendapat, argumen, dan bukti-bukti dari masing-masing pihak yang bersengketa. Secara tidak langsung hal itu dapat membentuk opinni yang benar di mata Majelis atau Hakim Pengadilan Pajak yang menangani sengketa.



H. PUTUSAN BANDING
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pengadilan Pajak dapat mengeluarkan putusan sela atas Gugatan berkenaan dengan permohonan penggugat agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan Pajak ditunda selama pemeriksaan Sengketa Pajak sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan Pajak.
Putusan Pengadilan Pajak dapat berupa:
a. Menolak.
b. Mengabulkan sebagaian atau seluruhnya.
c. Menambah Pajak yang harus dibayar.
d. Tidak dapat diterima.
e. Membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung; dan/atau
f. Membatalkan.

Berkenaan dengan putusan banding ini maka :
1. Terhadap putusan pengadilan pajak ini maka tidak dapat lagi diajukan Gugatan, Banding, atau kasasi.
2. Putusan Pengadilan Pajak langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain.
3. Apabila putusan Pengadilan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruh Banding, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
4. Salinan putusan atau salinan penetapan Pengadilan Pajak dikirim kepada para pihak dengan surat oleh Sekretaris dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal putusan Pengadilan Pajak diucapkan, atau dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal putusan sela diucapkan.
5. Putusan Pengadilan Pajak harus dilaksanakan oleh Pejabat yang berwenang dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterima putusan.
6. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterima maka dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan kepegawaian yang berlaku.

Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung. Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim

I. PENINJAUAN KEMBALI
Dalam hal Peninjauan Kembali terdapat beberapa ketentuan :
1. Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak.
2. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak.
3. Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali tersebut tidak dapat diajukan lagi.
4. Hukum acara yang berlaku pada pemeriksaan peninjauan kembali adalah hukum acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-undang Pengadilan Pajak.
5. Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali dengan ketentuan:
a. Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan acara biasa.
b. Dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak permohonan peninjauan kembali diterima oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan, dalam hal Pengadilan Pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan acara cepat.
6. Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak.
7. Putusan atas permohonan peninjauan kembali harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

J. JANGKA WAKTU DAN ALASAN PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI
Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan beberapa alasan dan dengan jangka waktu sebagai berikut:
1. Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu maka pengajuan permohonan peninjauan kembali dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diketahuinya kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda maka permohonan dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang.
3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputuskan dengan mengabulkan sebagaian atau seluruhnya dan menambah Pajak yang harus dibayar maka permohonan dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim.
4. Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya maka permohonan dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim.
5. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku maka permohonan dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak putusan dikirim.
Wajib Pajak yang mengajukan permohonan peninjauan kembali paling lama 3 bulan sejak tanggal keputusan kecuali force majeur, harus disertai bukti pendukung adanya keadaan luar biasa tersebut.

TUPOKSI DJP

I. DASAR HUKUM
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 62/PMK.01/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak.

II. KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
1. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya dalam Peraturan MenteriKeuangan ini disebut Kantor Wilayah adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pajak.
2. Kantor Wilayah dipimpin oleh seorang Kepala.
3. Kantor Wilayah mempunyai tugas melaksanakan koordinasi, bimbingan teknis, pengendalian, analisis, evaluasi, penjabaran kebijakan serta pelaksanaan tugas di bidang perpajakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

III. JENIS KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
Jenis Kantor Wilayah terdiri dari :
1. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus.
2. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak selain Kantor Wilayah Direktorat Jenderal PajakWajib Pajak Besar dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus.

IV. KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SELAIN KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAKWAJIB PAJAK BESAR DAN KANTOR WILAYAH DIREKTORAT JENDERAL PAJAK JAKARTA KHUSUS
Dalam melaksanakan tugas, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak selain Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus menyelenggarakan fungsi :
1. Pemberian bimbingan dan evaluasi pelaksanaan tugas Direktorat Jenderal Pajak.
2. Pengamanan rencana kerja dan rencana penerimaan di bidang perpajakan.
3. Bimbingan konsultasi dan penggalian potensi perpajakan serta pemberian dukungan teknis komputer.
4. Pengumpulan, pencarian, dan pengolahan data serta penyajian informasi perpajakan.
5. Penyiapan dan pelaksanaan kerjasama perpajakan, pemberian bantuan hukum serta bimbingan Pendataan dan Penilaian.
6. Bimbingan teknis pemeriksaan dan penagihan, serta pelaksanaan dan administrasi penyidikan.
7. Bimbingan pelayanan dan penyuluhan, serta pelaksanaan hubungan masyarakat.
8. Bimbingan dan penyelesaian keberatan, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, serta pelaksanaan urusan banding dan gugatan.
9. Bimbingan dan penyelesaian pembetulan keputusan keberatan, keputusan pengurangan atau Penghapusan sanksi administrasi, dan keputusan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar.
10. Bimbingan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
11. Pelaksanaan administrasi kantor.

V. BAGIAN FUNGSI
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak selain Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus terdiri dari :
1. Bagian Umum.
2. Bidang Dukungan Teknis dan Konsultasi.
3. Bidang Kerjasama, Ekstensifikasi, dan Penilaian.
4. Bidang Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak.
5. Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat.
6. Bidang Pengurangan, Keberatan, dan Banding.
7. Kelompok Jabatan Fungsional.

A. Bagian Umum
Bagian Umum mempunyai tugas melaksanakan urusan kepegawaian, keuangan, tata usaha, rumah tangga, dan bantuan hukum.
Dalam melaksanakan tugas, Bagian Umum menyelenggarakan fungsi :
a) Pelaksanaan urusan kepegawaian dan pemantauan penerapan kode etik.
b) Pelaksanaan urusan keuangan.
c) Pelaksanaan urusan bantuan hukum.
d) Pelaksanaan penyusunan rencana strategik dan laporan akuntabilitas.
e) Pelaksanaan urusan rumah tangga dan perlengkapan.
f) Pelaksanaan urusan tata usaha dan penyusunan laporan.

Bagian Umum terdiri dari :
1. Subbagian Kepegawaian.
Subbagian Kepegawaian mempunyai tugas melakukan urusan kepegawaian dan pemantauan penerapan kode etik, serta administrasi Jabatan Fungsional.
2. Subbagian Keuangan.
Subbagian Keuangan mempunyai tugas melakukan urusan keuangan.
3. Subbagian Bantuan Hukum dan Pelaporan.
Subbagian Bantuan Hukum dan Pelaporan mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan dan pelaksanaan administrasi bantuan hukum atas kasus yang diproses pada Peradilan Umum dan Tata Usaha Negara, penyusunan laporan, penyiapan bahan penyusunan rencana strategik, dan laporan akuntabilitas.
4. Subbagian Tata Usaha dan Rumah Tangga.
Subbagian Tata Usaha dan Rumah Tangga mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha, rumah tangga, kesejahteraan, dan perlengkapan.

B. Bidang Dukungan Teknis dan Konsultasi
Bidang Dukungan Teknis dan Konsultasi mempunyai tugas melaksanakan pemberian dukungan teknis komputer, bimbingan konsultasi, bimbingan penggalian potensi perpajakan, dan pengumpulan, pencarian, dan pengolahan data, serta penyajian informasi perpajakan.
Dalam melaksanakan tugas, Bidang Dukungan Teknis dan Konsultasi menyelenggarakan fungsi :
a) Pemberian dukungan teknis operasional komputer, pemeliharaan dan perbaikan jaringan komputer.
b) Pemeliharaan dan perbaikan program aplikasi, dan pembuatan back-up data.
c) Pemantauan, pemeliharaan, dan perbaikan aplikasi e-spt dan e-filing.
d) Pemberian bimbingan teknis konsultasi.
e) Pemberian bimbingan penggalian potensi perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi wajib pajak.
f) Bimbingan dan pemantauan pelaksanaan kebijakan teknis pemenuhan kewajiban perpajakan.
g) Pengumpulan, pencarian, penerimaan, pengolahan data dan/atau alat keterangan, serta penyajian informasi.
h) Pengawasan terhadap pemanfaatan data dan/atau alat keterangan.
i) Pemantauan, penelaahan, dan penatausahaan, serta rekonsiliasi penerimaan perpajakan.

Bidang Dukungan Teknis dan Konsultasi terdiri dari :
1. Seksi Dukungan Teknis Komputer.
Seksi Dukungan Teknis Komputer mempunyai tugas melakukan pemberian dukungan teknis operasional komputer, pemeliharaan dan perbaikan jaringan komputer dan program aplikasi, pembuatan back-up data, serta pemantauan, pemeliharaan dan perbaikan aplikasi e-SPT dan e-Filing.
2. Seksi Bimbingan Konsultasi.
Seksi Bimbingan Konsultasi mempunyai tugas melakukan pemberian bimbingan teknis konsultasidan teknis intensifikasi, serta bimbingan dan pemantauan pelaksanaan kebijakan teknis pemenuhan kewajiban perpajakan.
3. Seksi Data dan Potensi.
Seksi Data dan Potensi mempunyai tugas melakukan pengumpulan, pencarian, penerimaan, pengolahan data dan/atau alat keterangan, penyajian informasi, melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan data dan/ atau alat keterangan, melakukan bimbingan ekstensifikasi Wajib Pajak, serta melakukan pemantauan, penelaahan, penatausahaan, dan rekonsiliasi penerimaan perpajakan.

C. Bidang Kerjasama, Ekstensifikasi, dan Penilaian
Bidang Kerjasama, Ekstensifikasi, dan Penilaian mempunyai tugas melaksanakan penyiapan dan urusan kerjasama perpajakan, melaksanakan bimbingan ekstensifikasi, pendataan, dan penilaian, serta bimbingan dan pemantauan pengenaan.
Dalam melaksanakan tugas, Bidang Kerjasama, Ekstensifikasi, dan Penilaian menyelenggarakan fungsi :
a) Penyiapan dan pelaksanaan kerjasama di bidang perpajakan.
b) Pengumpulan dan penyaluran data perpajakan hasil kerjasama dengan pihak luar.
c) Pelaksanaan bimbingan pengamatan potensi perpajakan, pendataan objek dan subjek pajak, pembentukan dan pemutakhiran basis data nilai objek pajak dalam menunjang ekstensifikasi.
d) Pelaksanaan bimbingan pendataan dan penilaian.
e) Pelaksanaan bimbingan dan pemantauan pengenaan.
f) Melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah dan instansi terkait lainnya.

Bidang Kerjasama, Ekstensifikasi, dan Penilaian terdiri dari :
1. Seksi Bimbingan Kerjasama Perpajakan.
Seksi Bimbingan Kerjasama Perpajakan mempunyai tugas melakukan bimbingan dan menyiapkan kerjasama di bidang perpajakan termasuk melakukan koordinasi dengan Pemerintah Daerah dan instansi terkait lainnya, serta mengumpulkan dan menyalurkan data perpajakan hasil kerjasama dengan pihak luar.


2. Seksi Bimbingan Ekstensifikasi Perpajakan.
Seksi Bimbingan Ekstensifikasi Perpajakan mempunyai tugas melakukan bimbingan pengamatan potensi perpajakan, pendataan objek dan subjek pajak, pembentukan dan pemutakhiran basis data nilai objek pajak dalam menunjang ekstensifikasi.
3. Seksi Bimbingan Pendataan dan Penilaian.
Seksi Bimbingan Pendataan dan Penilaian mempunyai tugas melakukan bimbingan pendataan dan penilaian termasuk proses klasifikasi nilai jual objek pajak serta menjaga keseimbangan klasifikasi nilaijual objek pajak antar wilayah.
4. Seksi Bimbingan Pengenaan.
Seksi Bimbingan Pengenaan mempunyai tugas melakukan bimbingan dan pemantauan pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

D. Bidang Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak
Bidang Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak mempunyai tugas melaksanakan bimbingan teknis pemeriksaan dan penagihan pajak, pemantauan pelaksanaan teknis pemeriksaan dan penagihan pajak, penelaahan hasil pelaksanaan pekerjaan pejabat fungsional pemeriksa pajak (peer review), bantuan pelaksanaan penagihan, serta pelaksanaan urusan administrasi penyidikan termasuk pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan.
Dalam melaksanakan tugas, Bidang Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak menyelenggarakan fungsi :
a) Bimbingan teknis pemeriksaan dan penagihan pajak.
b) Bimbingan administrasi pemeriksaan dan penagihan pajak.
c) Pemantauan pelaksanaan teknis pemeriksaan dan penagihan pajak.
d) Pelaksanaan urusan administrasi penyidikan termasuk pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan.
e) Penelaahan hasil pelaksanaan pekerjaan pejabat fungsional pemeriksa pajak (peer review).
f) Bantuan pelaksanaan penagihan.

Bidang Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak terdiri dari :
1. Seksi Bimbingan Pemeriksaan.
Seksi Bimbingan Pemeriksaan mempunyai tugas melakukan bimbingan teknis dan administrasi pemeriksaan, pemantauan pelaksanaan kebijakan teknis pemeriksaan, dan penelaahan hasil pelaksanaan pekerjaan pejabat fungsional pemeriksa pajak (peer review).
2. Seksi Administrasi Penyidikan.
Seksi Administrasi Penyidikan mempunyai tugas melakukan urusan administrasi penyidikan termasuk pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, serta pemantauan hasil pelaksanaan teknis pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan.
3. Seksi Bimbingan Penagihan.
Seksi Bimbingan Penagihan mempunyai tugas melakukan bimbingan teknis dan administrasi penagihan,pemantauan pelaksanaan kebijakan teknis penagihan, dan bantuan pelaksanaan penagihan pajak. Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat mempunyai tugas melaksanakan bimbingan dan pemantauan penyuluhan dan pelayanan perpajakan, melaksanakan urusan hubungan pelayanan masyarakat, serta melaksanakan penyuluhan dan pelayanan perpajakan yang menjadi tanggung jawab Kantor Wilayah.

E. Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat
Dalam melaksanakan tugas, Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat melaksanakan fungsi :
a) Bimbingan dan pemantauan pelayanan perpajakan.
b) Bimbingan dan pemantauan penyuluhan perpajakan.
c) Pelaksanaan hubungan pelayanan masyarakat.
d) Pelaksanaan pelayanan dan penyuluhan perpajakan.
e) Pelaksanaan penyeragaman penafsiran ketentuan perpajakan.
f) Pemeliharaan dan pemutakhiran website.
g) Pengelolaan pengaduan wajib pajak mengenai pelayanan dan teknis perpajakan.
h) Pemutakhiran panduan informasi perpajakan.
i) Pelaksanaan kerjasama perpajakan.

Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat terdiri dari :
1. Seksi Bimbingan Penyuluhan.
Seksi Bimbingan Penyuluhan mempunyai tugas melakukan bimbingan dan bantuan penyuluhan, pemeliharaan dan pemutakhiran website, serta pemutakhiran panduan informasi perpajakan.


2. Seksi Bimbingan Pelayanan.
Seksi Bimbingan Pelayanan mempunyai tugas melakukan bimbingan pelayanan perpajakan, evaluasi atas pelayanan perpajakan, urusan penyeragaman penafsiran ketentuan perpajakan, serta pengelolaan pengaduan Wajib Pajak mengenai pelayanan dan teknis perpajakan.
3. Seksi Hubungan Masyarakat.
Seksi Hubungan Masyarakat mempunyai tugas melakukan urusan hubungan masyarakat meliputi penyampaian informasi, peningkatan citra, pengoperasian dan pemeliharaan layanan interaktif (call center), serta urusan kerjasama perpajakan.

F. Bidang Pengurangan, Keberatan, dan Banding
Bidang Pengurangan, Keberatan, dan Banding mempunyai tugas melaksanakan bimbingan dan urusan penyelesaian keberatan, pembetulan Surat Keputusan, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajakyang tidak benar, pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, pengurangan sanksi administrasi, proses banding, proses gugatan, dan Peninjauan Kembali.
Dalam melaksanakan tugas, Bidang Pengurangan, Keberatan, dan Banding melaksanakan fungsi :
a) Bimbingan dan penyelesaian keberatan.
b) Bimbingan dan penyelesaian pembetulan surat keputusan.
c) Bimbingan dan penyelesaian pengurangan pajak bumi dan bangunan dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
d) Bimbingan dan penyelesaian pengurangan sanksi administrasi.
e) Proses banding, proses gugatan, dan peninjauan kembali.
f) Bimbingan dan penyelesaian pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar.

Bidang Pengurangan, Keberatan, dan Banding terdiri dari :
1. Seksi Pengurangan, Keberatan, dan Banding I.
Seksi Pengurangan, Keberatan, dan Banding I mempunyai tugas melakukan bimbingan dan urusan penyelesaian keberatan, pembetulan Surat Keputusan, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, pengurangan sanksi administrasi, proses banding, dan proses gugatan, serta Peninjauan Kembali Wajib Pajak sektor industri.


2. Seksi Pengurangan, Keberatan, dan Banding II.
Seksi Pengurangan, Keberatan, dan Banding II mempunyai tugas melakukan bimbingan dan urusan penyelesaian keberatan, pembetulan Surat Keputusan, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, pengurangan sanksi administrasi, proses banding, dan proses gugatan, serta Peninjauan Kembali Wajib Pajak sektor perdagangan.
3. Seksi Pengurangan, Keberatan, dan Banding III.
Seksi Pengurangan, Keberatan, dan Banding III mempunyai tugas melakukan bimbingan dan urusan penyelesaian keberatan, pembetulan Surat Keputusan, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, pengurangan sanksi administrasi, proses banding, dan proses gugatan, serta Peninjauan Kembali Wajib Pajak sektor jasa.
4. Seksi Pengurangan, Keberatan, dan Banding IV.
Seksi Pengurangan, Keberatan, dan Banding IV mempunyai tugas melakukan bimbingan dan urusan penyelesaian keberatan, pembetulan Surat Keputusan, pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, pengurangan sanksi administrasi, proses banding, dan proses gugatan, serta Peninjauan Kembali Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.


VI. KESIMPULAN
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya dalam Peraturan MenteriKeuangan ini disebut Kantor Wilayah adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pajak.

Tugas Pokok dan Fungsi Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak selain Kantor Wilayah Direktorat Jenderal PajakWajib Pajak Besar dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus dimuat dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 62/PMK.01/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak.

Dalam melaksanakan tugas, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak selain Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus menyelenggarakan fungsi :
a) Pemberian bimbingan dan evaluasi pelaksanaan tugas Direktorat Jenderal Pajak.
b) Pengamanan rencana kerja dan rencana penerimaan di bidang perpajakan.
c) Bimbingan konsultasi dan penggalian potensi perpajakan serta pemberian dukungan teknis komputer.
d) Pengumpulan, pencarian, dan pengolahan data serta penyajian informasi perpajakan.
e) Penyiapan dan pelaksanaan kerjasama perpajakan, pemberian bantuan hukum serta bimbingan Pendataan dan penilaian.
f) Bimbingan teknis pemeriksaan dan penagihan, serta pelaksanaan dan administrasi penyidikan;
g) Bimbingan pelayanan dan penyuluhan, serta pelaksanaan hubungan masyarakat.
h) Bimbingan dan penyelesaian keberatan, pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, serta pelaksanaan urusan banding dan gugatan.
i) Bimbingan dan penyelesaian pembetulan keputusan keberatan, keputusan pengurangan atau Penghapusan sanksi administrasi, dan keputusan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar.
j) Bimbingan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
k) Pelaksanaan administrasi kantor.

Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak selain Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus terdiri dari :
1. Bagian Umum.
2. Bidang Dukungan Teknis dan Konsultasi.
3. Bidang Kerjasama, Ekstensifikasi, dan Penilaian.
4. Bidang Pemeriksaan, Penyidikan, dan Penagihan Pajak.
5. Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat.
6. Bidang Pengurangan, Keberatan, dan Banding.
7. Kelompok Jabatan Fungsional.

Minggu, 13 Juni 2010

fungsi pajak & tax ratio

Perpajakan masa kini telah mengalami perkembangan sistem modernisasi, hal ini tentu dimaksudkan untuk menambah kualitas layanan kepada masyarakat. Dengan mengandalkan sistem pemunggutan self assessment, pelayanan pajak lebih mengutamakan wajib pajak sebagai subjek yang paling esensial dalam pemunggutan pajak. Untuk mengerti dan memahami peraturan perundang-undangan pajak dengan baik diperlukan terlebih dahulu penguasaan asas-asas dan dasar-dasar pajak.

Pajak diatur dengan undang-undang, oleh karena itu pajak harus sesuai dengan dasar hukum yang mantap. Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat. Tanpa ada masyarakat tidak mungkin ada suatu pajak. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat hukum (Gemeinschaft) menurut istilah Ferdinand Tonnies, bukan masyarakat yang bersifat geselschaft. Pajak lazimnya diberikan dalam bentuk natura oleh anggota masyarakat tanpa mendapat imbalan secara langsung yang digunakan untuk membiayai kepentingan umum (Rochmat Soemitro:1990.)

Banyak ahli mencoba mendefinisikan tentang pajak, menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro dalam bukunya Pengantar Singkat Hukum Pajak mengatakan “Pajak adalah peralihan kekayaan dari sector swasta ke sector public berdasarkan Undang-undang yang dapat dipaksakan dengan tidak mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjukkan, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan yang digunakan sebagai alat pendorong, penghambat atau untuk menvapai tujuan tertentu di luar bidang keuangan negara. Pajak menurut Pasal 1 UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

1. Fungsi Pajak
Menurut Prof. Dr. PJA Adriani dan Prof. Dr. Rochmat Soemitro mengatakan bahwa dalam pajak terkandung fungsi diantaranya:

Fungsi Budgetair
Fungsi budgetair yaitu dengan pajak digunakan sebagai alat untuk dapat membiayai pengeluaran negara. Pajak-pajak ini digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan didalam suatu negara. Untuk mengoptimalkan fungsi budgetair pajak pemerintah biasanya melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pemunggutan pajak. Contoh dari pemunggutan pajak yang terkait dengan fungsi budgetair diantaranya adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi Bangunan(PBB), dan PPnBM.

Fungsi Regulerent/ Pengaturan

Fungi regulerent/ pengaturan yaitu pajak digunakan sebagai pengatur/ melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah dibidang sosial, ekonomi, dan lainya dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu diluar bidang keuangan. Contoh penerapan fungsi regulerent pajak diantara adalah:
1. Pajak tinggi untuk barang mewah
2. Tarif pajak progresif atas penghasilan, sehingga terciptanya pendapatan yang merata.
3. Tarif pajak ekspor 0%, sehingga mendorong ekspor naik, sehingga negara mendapat devisa dari aktivitas ekspor tersebut.
4. PPN dikenakan untuk penyerahan barang-barang tertentu yang berbahaya yang dapat membuat polusi (Semen, Rokok, Bahan-bahan kimia tertentu)
5. Pembebasan PPh atas SHU koperasi, hal ini dilakukan untuk mendorong pertumbuhan koperasi di Indonesia.
6. Memberlakukan “Tax Holiday” untuk menarik investor dalam hal penanaman modal.

Selain itu ada juga yang mengelompokkan fungsi pajak dengan dua tambahan aspek yaitu: (//Wikipedia.org, Akses 16 November 2008)

Fungsi Stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efesien.

Fungsi redistribusi pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat


2.Sumber Penerimaan Keuangan Negara


Negara mempunyai kewajiban menyelenggarakan berbagai macam tugas yang berguna bagi masyarakatnya dari waktu ke waktu. Tidak mungkin bagi negara untuk menunaikan tugas tersebut tanpa adanya organisasi yang luas beserta segala cabang-cabang dengan berbagai tugasnya. Untuk membiayai semua itu, negara membutuhkan dana (uang).Untuk mendapatkan uang, selain dari mencetak sendiri atau meminjam, pada zaman modern ini banyak jalan yang ditempuh oleh pemerintah. Sumber-sumber penghasilan ini umumnya terdiri dari:
1. Perusahaan-perusahaan Negara
Perusahaan yang bersifat monopoli, umumnya perusahaan-perusahaan Postel, perusahaan garam dan soda, pabrik-pabrik gas dan listrik, yang tarifnya sangat disesuaikan dengan kebutuhan umum, sehingga tidak semata-mata mengejar keuntungan saja, maupun yang tidak bersifat monopoli seperti pabrik-pabrik; tambang-tambang, onderneming-onderneming, dan sebagainya.
2. Barang-barang milik pemerintah atau yang dikuasai pemerintah
Dalam hubungan ini disebutkan tanah-tanah yang dikuasai pemerintah yang diusahakan untuk mendapatkan penghasilan; saham-saham yang dipegang negara, dan sebagainya.
3. Denda-denda dan perampasan-perampasan untuk kepentingan umum
4. Hak-hak waris atas harta peninggalan terlantar
Jika terhadap suatu warisan atau harta peninggalan lain, tidak ada orang datang yang menyatakan dirinya berhak atas harta tersebut, atau jika semua ahli waris menolak warisan yang bersangkutan, maka di Indonesia (menurut pasal 1126 Kitab Undang-undang Hukum Sipil) harta peninggalan ini dianggap terlantar, dan Balai Harta Peninggalan wajib mengurus dan mengumumkannya. Dan jika setelah lewat waktu tiga tahun masih juga belum ada ahli waris yang muncul, maka BHP tadi wajib menyelesaikan urusannya; dalam hal masih ada kelebihan, harta benda dan kekayaan ini menjadi milik negara (KUHS pasal 1129)
5.Hibah-hibah wasiat dan hibahan lainnya
Yang dimaksud dengan hibahan-hibahan adalah antara lain sumbangan-sumbangan dari PBB.
6.Pajak, retribusi, dan sumbangan
Last but not least, terakhir tapi bukan yang terkecil, yaitu sebagaimana telah diuraikan di atas. Dalam hubungan ini, pengenaan pajak, retribusi, dan sumbungan termasuk pula sebagai suatu bagian ajaran tentang public finance, yaitu pengetahuan yang mempelajari cara-cara bagaimana suatu pemerintah dapat memperoleh, mengurus, dan membelanjakan uangnya yang diperlukan untuk menunaikan rugasnya. Menurut beberapa sumber, pajak menjadi pos pemasukan yang relatif tinggi dalam penerimaan negara.(Media Indonesia 18 Agustus 2008)
Dalam konteks general pembagian unsur penerimaan negara dapat digolongkan menjadi dua yaitu dari pendapatan dalam negeri dan hibah. Hibah adalah bantuan yang berasal dari swasta, sedangkan pendapatan dalam negeri dapat digolongkan menjadi 2 yaitu sektor penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak.
• Penerimaan Negara dari Sektor Pajak.
Selanjutnya, apabila dilihat dari komponen penyumbangnya, penerimaan perpajakan terdiri dari pajak dalam negeri dan pajak perdagangan internasional. Dalam komponen penerimaan perpajakan, pajak dalam negeri meliputi PPh, PPN dan PPnBM, PBB, BPHTB, cukai dan lainnya. Selama periode 2005-2007, penerimaan pajak dalam negeri meningkat sebesar Rp138,3 triliun, yaitu dari Rp331,8 triliun dalam tahun 2005 menjadi Rp470,1 triliun dalam tahun 2007. Secara rata-rata, penerimaan pajak dalam negeri dalam periode tersebut tumbuh sebesar 19,0 persen. Dari seluruh jenis pajak yang tercakup dalam pajak dalam negeri, hampir seluruhnya mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan dalam tahun 2007 yaitu BPHTB tumbuh 87,0 persen, PPN dan PPnBM 25,6 persen, cukai 18,3 persen dan pajak lainnya 19,7 persen. Tingginya pertumbuhan penerimaan BPHTB pada tahun 2007 tersebut disebabkan oleh adanya pembayaran DTP Pertamina sebesar lebih dari Rp1,5 triliun, dimana pada saat itu Pertamina berubah menjad perseroan terbatas (PT). Di sisi lain, PPh dan PBB hanya mengalami pertumbuhan sebesar 14,2 persen dan 13,7 persen. Pertumbuhan dari masing-masing jenis pajak dalam periode 2005-2007 dapat dilihat dalam lampiran 2a.(Lampiran 1a)
Pajak Penghasilan
PPh terdiri dari PPh minyak bumi dan gas (PPh Migas) dan PPh nonmigas. Secara rata-rata dalam tahun 2005-2007, penerimaan PPh meningkat cukup tinggi sebesar 16,5 persen. Dalam tahun 2006, realisasi penerimaan PPh mencapai Rp208,8 triliun yang terdiri dari PPh Migas Rp43,2 triliun (20,7 persen) dan PPh nonmigas Rp165,6 triliun (79,3 persen). Realisasi penerimaan PPh dalam tahun 2006 ini lebih tinggi 19,0 persen dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 2005 sebesar Rp175,5 triliun. Dalam tahun 2007, realisasi penerimaan PPh tumbuh sebesar 14,2 persen menjadi Rp238,4 triliun yang disumbang oleh PPh Migas sebesar Rp44,0 triliun (18,5 persen) dan PPh nonmigas Rp194,4 triliun (81,5 persen). PPh nonmigas merupakan penyumbang terbesar penerimaan perpajakan. Dalam periode 2005-2007, rata-rata pertumbuhan PPh nonmigas mencapai 17,7 persenDalam tahun 2006, realisasi penerimaan PPh nonmigas tumbuh 18,0 persen menjadi Rp165,6 triliun, terutama berasal dari PPh pasal 25/29 Badan sebesar Rp65,1 triliun yang mengalami pertumbuhan sebesar 26,6 persen dibanding tahun 2005. Hal ini disebabkan karena mulai pulihnya perkembangan sektor riil setelah mengalami perlambatan sebagai dampak kenaikan harga BBM pada akhir tahun 2005. . (Lampiran 1 B,C)

PPN dan PPnBM

Penerimaan PPN dan PPnBM tumbuh rata-rata sebesar 23,5 persen dalam tiga tahun terakhir yaitu dari Rp101,3 triliun tahun 2005 menjadi Rp154,5 triliun tahun 2007. Dalam kurun waktu yang sama, penerimaan PPN dan PPnBM merupakan kontributor terbesar kedua terhadap penerimaan perpajakan dengan kontribusi ratarata sebesar 30,3 persen. Tingginya realisasi PPN dan PPnBM tersebut disebabkan membaiknya kondisi perekonomian nasional terutama besaran konsumsi akhir masyarakat (final demand) yang mendorong peningkatan transaksi bisnis. Khusus untuk PPnBM, realisasi penerimaannya secara langsung dipengaruhi baik oleh volume transaksi (penyerahan) dalam negeri, maupun volume dan harga produk barang-barang impor. Perkembangan realisasi PPN dan PPnBM tahun 2005- 2007 dapat dilihat pada (Lampiran 2,A)
PBB dan BPHTB

PBB dan BPHTB merupakan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan seluruh hasil penerimaannya dibagihasilkan kepada Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Secara sektoral, penerimaan PBB dari sektor pertambangan merupakan penyumbang terbesar dari total penerimaan PBB. Dalam periode 2005-2007, penerimaan PPB sector pertambangan menyumbang rata-rata 56,7 persen dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 49,6 persen. Selain PBB pertambangan, peningkatan yang cukup tajam juga terjadi pada penerimaan PBB perkebunan dengan rata-rata pertumbuhan 65,1 persen. Di sisi lain, penerimaan PBB pedesaan mengalami rata-rata pertumbuhan negatif 38,1 persen. (Lampiran 2B)

Sementara itu, penerimaan BPHTB dalam periode 2005-2007 tumbuh rata-rata sebesar 31,7 persen. Dalam tahun 2007, realisasi penerimaan BPHTB sebesar Rp6,0 triliun, meningkat sebesar 87,0 persen dibandingkan dengan realisasi tahun 2006 sebesar Rp3,2 triliun. Tingginya pertumbuhan realisasi penerimaan BPHTB tahun 2007 terkait dengan meningkatnya transaksi di sektor property sebagai akibat meningkatnya daya beli masyarakat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Dalam waktu bersamaan, turunnya suku bunga mendorong masyarakat berinvestasi di sektor properti melalui kredit perbankan. Perkembangan realisasi BPHTB 2005-2007 dapat dilihat pada lampiran 2C

Cukai

Penerimaan cukai bersumber dari cukai hasil tembakau, cukai ethyl alkohol, dan cukai minuman mengandung ethyl alkohol (MMEA). Penerimaan cukai hasil tembakau menunjukkan kecenderungan meningkat yang terutama dipengaruhi oleh peningkatan produksi rokok, Harga Jual Eceran (HJE) serta kebijakan tarif cukai hasil tembakau Penerimaan cukai dalam tahun 2008 diperkirakan akan mencapai Rp46,7 triliun, 2,2 persen lebih tinggi dari target APBN-P sebesar Rp45,7 triliun. Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2007, perkiraan realisasi penerimaan cukai dalam tahun 2008 meningkat sebesar 4,6 persen. Meningkatnya penerimaan cukai pada tahun 2008 tersebut secara umum didukung oleh penerapan kebijakan tarif cukai hasil tembakau. Untuk mencapai target perkiraan realisasi cukai 2008 tersebut, perlu dilakukan berbagai langkah administratif di bidang cukai. Adapun langkah administratif yang ditempuh di bidang cukai adalah: (i) operasi pasar atas peredaran hasil tembakau ilegal seperti hasil tembakau tidak dilekati pita cukai/polos, dilekati pita cukai palsu, atau dilekati pita cukai yang bukan peruntukannya; (ii) operasi intelijen yaitu operasi secara tertutup untuk mengumpulkan data dan informasi terkait dengan penindakan atas pelelangan.(Lampiran 3 A)

Pajak lainnya

Dalam periode 2005-2007, penerimaan pajak lainnya tumbuh rata-rata sebesar 15,6 persen. Sebagian besar dari penerimaan pajak lainnya tersebut berasal dari bea materai yang memberikan kontribusi rata-rata sebesar 96,6 persen terhadap total penerimaan pajak lainnya. (Lampiran 3B)

• Penerimaan Negara Bukan Pajak

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di dalam APBN memiliki peranan yang sangat penting sebagai salah satu sumber pendapatan negara di samping penerimaan perpajakan. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), PNBP adalah seluruh penerimaan Pemerintah pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Sumber PNBP tersebut meliputi: (i) penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana Pemerintah; (ii) penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam (SDA); (iii) penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan; (iv) penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan Pemerintah; (v) penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi; (vi) penerimaan hibah yang merupakan hak Pemerintah; dan (vii) penerimaan lainnya yang diatur dalam undang-undang tersendiri. Dalam struktur APBN, PNBP terdiri dari: (i) penerimaan SDA, meliputi penerimaan SDA migas dan SDA nonmigas (SDA pertambangan umum, SDA kehutanan, dan SDA perikanan); (ii) penerimaan bagian Pemerintah atas laba BUMN; dan (iii) PNBP lainnya, meliputi pendapatan dari penjualan, sewa, jasa, PNBP dari luar negeri, kejaksaan dan peradilan, pendidikan, pelunasan piutang, pendapatan lainnya dari kegiatan usaha migas, dan pendapatan anggaran lain-lain. Secara historis, besaran PNBP didominasi oleh penerimaan SDA, khususnya dari penerimaan SDA minyak bumi dan gas bumi (migas).
Besaran penerimaan SDA migas dipengaruhi oleh lifting minyak dan volume produksi gas bumi, harga minyak bumi dan gas bumi di pasar internasional, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan besaran cost recovery. Cost recovery merupakan biaya-biaya yang dapat dikembalikan kepada kontraktor minyak bumi dan gas bumi sebagaimana diatur di dalam Kontrak Production Sharing (KPS). Sementara itu, besaran penerimaan SDA nonmigas, yang terdiri dari penerimaan pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan dipengaruhi oleh tingkat produksi masing-masing jenis tambang, harga komoditi tambang, luas area/volume produksi hasil hutan untuk kehutanan, jenis dan jumlah kapal ikan untuk perikanan, serta kebijakan yang dilakukan Pemerintah, terutama dalam bidang tarif. (Lampiran 3 C, 4 A)

Relevansi Sumber Keuangan Negara Terhadap Fungsi Pajak
Pajak sebagai sumber penerimaan negara tentu memiliki relevansi yang signifikan terhadap kondisi keuangan negara. Melalui pajak yang secara teknisnya berfungsi secara budgetair, akan menambah sumber kekayaan negara yang akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara yang rutin, dan apabila masih terdapat surplus, maka akan digunakan untuk public invesment. Selain itu melalui pajak dapat juga dilaksanakan beberapa kebijakan diluar bidang keuangan demi tujuan-tujuan tertentu, seperti sosial, ekonomi, dll. Dari beberapa pemaparan diatas sudah dapat ditarik suatu penafsiran eratnya hubungan antara pajak sebagai sumber penerimaan negara, mengingat pajak memiliki porsi yang cukup besar dalam pengelolaan APBN saat ini. Secara ringkas relevansi pajak dapat dipahami melalui bagan dibawah ini:






Tax Ratio di Indonesia

Tax ratio merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Rasio itu dipergunakan untuk menilai tingkat kepatuhan pembayaran pajak oleh masyarakat dalam suatu negara. Membicarakan tax ratio di Indonesia sesungguhnya bukan sekedar urusan kalkulasi matematis atas perbandingan jumlah penerimaan perpajakan terhadap jumlah penerimaan domestik bruto (PDB). Terdapat sejumlah aspek krusial yang mewarnai persoalan tax ratio ini, bukan hanya yang bersifat ekonomi, bahkan merambah aspek politis. Tax ratio sebagai ukuran kinerja perpajakan telah lama diungkapkan oleh para ahli ekonomi. Meski demikian, terdapat sejumlah perdebatan mendasar yang mengemuka setiap kita membicarakan tax ratio ini.
• Masalah Penerimaan Pajak
Masalah Pertama, jumlah penerimaan perpajakan manakah yang kita jadikan faktor pembilang, apakah hanya merupakan pajak pusat ataukah melingkupi pajak daerah juga, apakah hanya merupakan pajak yang dikelola oleh Ditjen Pajak saja ataukah termasuk pula pajak lain yang tidak dikelola oleh Ditjen Pajak, serta apakah hanya merupakan pajak yang diterima secara utuh oleh Ditjen Pajak ataukah termasuk restitusi, dan pajak ditanggung Pemerintah. Jadi, sesungguhnya persoalan besaran tax ratio mungkin menjadi uncomparable antar negara, kecuali terdapat lembaga survei tersendiri yang melakukan perhitungan tax ratio secara terintegrasi dengan metodologi yang sama seperti yang dilakukan OECD terhadap negara-negara anggotanya. Bila mengacu pada perhitungan tax ratio, jelas bahwa jumlah penerimaan perpajakan yang dijadikan acuan sebagai faktor pembilang tax ratio tidak meliputi pajak daerah, restitusi dan fasilitas perpajakan. Meski demikian, bila dilakukan modifikasi terhadap jumlah penerimaan perpajakan ini tetap saja tax ratio kita masih ketinggalan dibandingkan beberapa negara tetangga dalam kawasan regional tertentu, apalagi bila kita membandingkannya dengan negara yang telah maju. Dalam hal ini, persoalan utamanya memang adalah bagaimana upaya untuk menggenjot penerimaan perpajakan agar tax ratio kita mengalami peningkatan. Namun meskipun demikian sulit bagi pemerintah untuk menaikkan tax ratio, selama masih ada praktek-praktek hidden economy yang meliputi sumbangan-sumbangan politik, sumbangan-sumbangan bagi pejabat, birokrasi, dan sebagainya, (Bisnis Indonesia.13 November 2008)
• Masalah PDB (Produk Domestik Bruto)
Masalah lain dalam keruwetan tax ratio ini adalah perdebatan mengenai faktor pembagi dalam formula tax ratio, yaitu nilai produk domestik bruto (PDB). Angka acuan dalam PDB ini sering diperdebatkan karena adanya PDB dengan basis 1993 dan 2000. Berikut adalah perbandingan tax ratio dengan dua versi PDB:

Dalam teknis perhitungan PDB angka tersebut di tabel juga dapat menimbulkan perdebatan, terkait dengan validitas perhitungannya. Termasuk dalam hal ini adalah masalah klasik berupa konsep harga yang secara konsep mengandung makna distorsi, proses imputasi dalam penghitungan PDB serta kemungkinan tidak tercatatnya sektor informal bahkan ekonomi bawah tanah (underground economy). Dalam proses perhitungan PDB riil, patokan tahun yang menjadi basis perhitungan juga bisa menjadi sangat politis karena biasanya dipilih untuk tahun yang tingkat inflasinya rendah agar hasil agregasi PDB menjadi tinggi.
• Tax Ratio Tidak Cukup (lampiran 2)
Penggunaan tax ratio sebagai ukuran kinerja perpajakan juga diperdebatkan karena kadang-kadang kontradiktif dengan data dan fakta ekonomi lainnya. Iman Sugema (2004), misalnya, mempertanyakan penerimaan pajak yang tinggi tetapi berasosiasi terhadap pertumbuhan ekonomi yang rendah. Ini ditunjukkan oleh fakta bahwa selama masa Orde Baru, tax ratio sebesar 7,4 persen namun pertumbuhan ekonomi mencapai 6,1 persen. Saat pemerintahan Abdurrahman Wahid tax ratio mencapai 10,7 persen dari PDB dan pertumbuhan ekonomi menurun menjadi menjadi 4,8 persen. Pada saat pemerintahan Megawati, ketika tax ratio mencapai 13,5 persen, pertumbuhan ekonomi justru terus turun mencapai 4,2 persen.
Tidak validnya tax ratio sebagai ukuran kinerja penerimaan pajak kemudian memunculkan usulan untuk melihat kinerja penerimaan pajak melalui beberapa indikator lain, antara lain tax coverage ratio. Menurut perhitungan DJP di tahun 2003, tax coverage ratio kita tidak pernah mencapai besaran 77%. Hal ini menunjukkan masih besarnya potensi pajak yang tidak dapat dijangkau oleh DJP. Faktor penyebabnya bukan semata kesalahan DJP namun juga dipicu oleh pincangnya akses data, kuatnya ekonomi terselubung (underground economy) dan lemahnya kepatuhan sukarela dari masyarakat wajib pajak. (Gunawan Setiyaji.2008)

Data empiris di Indonesia menunjukkan tax ratio cenderung meningkat setiap tahunnya, tetapi tidak lebih dari 15%. Ketika Susilo Bambamg Yudhoyono baru menjabat (2004) tax ratio sebesar 12,3% dan pada 2005 terjadi peningkatan menjadi sebesar 12,7%. Khusus 2008 ini, dengan asumsi target penerimaan pajak tercapai Rp525,5 triliun dan PDB diperkirakan Rp3.500 triliun, maka diprediksi tax ratio akan mencapai 15,1%. Dus, untuk mencapai tax ratio 19 % pada 2009 setidaknya penerimaan pajak harus mencapai Rp703 triliun atau tumbuh Rp177,5 triliun.