Senin, 18 Januari 2010

Pajak Internasional


PAJAK INTERNASIONAL

 PENGERTIAN HUKUM PAJAK INTERNASIONAL
Ada beberapa ahli yang mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian pajak internasional, diantaranya :
1. Prof. Dr. Ottmar Buhler
Hukum pajak internasional dalam arti sempit adalah kaedah-kaedah (norma) hukum perselisihan (kolisi) yang didasarkan pada hukum antar bangsa (hukum internasional). Sedangkan dalam arti luas hukum pajak internasional adalah kaedah-kaedah hukum antar bangsa ditambah peraturan nasiomal yang mempunyai sebagai objek hukum kolisi dalam bidang perpajakan.
2. Prof. Dr.P.J.A.Adriani
Hukum pajak internasional adalah keseluruhan peraturan yang mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur soal penyedotan daya beli itu di masyarakat. Hukum pajak internasional merupakan suatu kesatuan hukum yamh mengupas suatu persoalan yang diatur dalam undang-undang nasional mengenai :
 Pemajakan terhadap orang-orang luar negeri
 Peraturan-peraturan nasional untuk menghindarkan pajak berganda
 Traktat-traktat
3. Anglo Sakson
Di negara-negara Anglo Sakson berlaku pengertian yang terperinci tentang hukum pajak internasional, yang dibedakan antara :
 National External Tax Law (Auszensteuerrecht)
Merupakan bagian dari hukum pajak nasional yang memuat mengenai peraturan perpajakan yang mempunyai daya kerja sampai di batas luar negara karena terdapat unsur-unsur asing, baik mengenai objeknya (sumber ada di luar negeri) maupun terhadap subjeknya (subjek ada di luar negeri)



 Foreign Tax Law (Auslandisches Steuerrecht)
Adalah mencakup keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-peraturan pajak dari negara-negara yang ada di seluruh dunia. Foreign tax law berguna sebagai bahan perbandingan dalam melakukan comparative tax law study ketika akan melakukan perjanjian perpajakan dengan negara lain.
 International tax Law
Dalam arti sempit diartikan bahwa hukum pajak internasional merupakan keseluruhan kaedah pajak berdasarkan hukum antar negara seperti traktat-traktat, konvensi, dll yang semata-mata berdasarkan sumber-sumber asing. Sedangkan dalam arti luas adalah keseluruhan kaedah baik yang berdasarkan traktat, konvensi, dan prinsip hukum pajak yang diterima negara-negara dunia, maupun kaedah-kaedah nasional yang objeknya adalah pengenaan pajak yang mengandung adanya unsur-unsur asing, yang dapat menimbulkan bentrokan hukum antara dua negara atau lebih.

 MACAM PAJAK BERGANDA (DOUBLE TAXATION)
Pajak berganda dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Pajak berganda nasional (national double taxation)
Adalah pajak yang dikenakan lebih dari satu kali terhadap objek yang sama oleh suatu negara.
2. Pajak berganda internasional (international double taxation)
Adalah pajak yang dikenakan lebih dari satu kali terhadap objek yang sama oleh lebih dari satu negara, dengan kata lain pajak berganda internasional timbul karena :
a. Ada lebih dari satu negara yang memungut pajak
b. Dikenakan terhadap objek yang sama
Untuk menghindari adanya pajak berganda internasional maka diadakan perjanjian penghindaran pajak berganda (agreement for the avoidance of double taxation and the prevention of tax evasion) atau dikenal dengan istilah tax treaty


 PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL
Pajak internasional mengenal azas-azas tentang domicily country dan source country. Disebut domicily country apabila negara tempat tinggal Wajib Pajak (domicily country atau home country) menganut asas domisili yang mengenakan pajak penghasilan atas worldwide income atas dasar asas domisili.
Apabila Wajib Pajak melakukan transaksi dan memperoleh laba di negara tempat tinggalnya (source country, atau host country), dan kemudian dikenakan juga pajak penghasilan atas laba tersebut atas dasar asas domisili, maka Wajib Pajak tersebut akan dikenakan pajak dua kali (double taxation). Yang pertama oleh source country dan yang kedua oleh domicile country. Negara-negara yang tarif pajaknya rendah atau sama sekali tidak mengenakan pajak atas penghasilan disebut sebagai negara-negara surga pajak (tax haven countries).
Pajak berganda dapat dibedakan menjadi Pajak berganda internal (internal double taxation); pajak berganda internasional (international double taxation); pajak berganda secara yuridis (juridical double taxation) serta pajak berganda secara ekonomis (economic double taxation). Internal double taxation adalah pengenaan pajak atas Subjek dan Objek Pajak yang sama dalam suatu negara. International double taxation adalah pengenaan pajak dua kali (atau lebih) terhadap Subjek dan Objek Pajak yang sama oleh dua negara. Dua negara atau lebih mengenakan pengenaan pajak atas Objek Pajak yang sama dan Subjek Pajak yang sama.
Knechtle dalam bukunya berjudul Basic problem in international fiscal law (1979) membedakan pengertian pajak berganda secara luas (wider sense) dan secara sempit (narrower sense). Secara luas pengertian pajak berganda diartikan setiap bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, dapat dalam bentuk berganda (double taxation) atau lebih (multiple taxation) terhadap suatu fakta fiskal. Secara sempit pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan atau objek pajak dalam satu administrasi perpajakan yang sama. Pajak berganda seperti ini sering disebut sebagai pajak berganda ekonomis (economic double taxation). Pemajakan ganda oleh berbagai administrator dapat pula terjadi secara vertikal (pemerintah pusat dan daerah, atau secara diagonal (pemerintah daerah kota/kabupaten, propinsi X dan Y).

 SUMBER-SUMBER HUKUM PAJAK INTERNASIONAL
Pada dasarnya hukum pajak internasional adalah hukum pajak nasional yang didalamnya mengandung unsur-unsur asing, unsur tersebut bisa mengenai subjek pajaknya, objek pajaknya maupun pemungut pajaknya.
Sumber hukum pajak internasional terdiri dari :
1. Hukum pajak nasional yaitu peraturan pajak sepihak yang tidak ditujukan kepada pihak lain.
2. Traktat yaitu perjanjian pajak dengan negara lain
a. Untuk menghindari pajak berganda
b. Untuk mengatur perlakuan fiskal terhadap orang asing
c. Untuk mengatur mengenai laba Badan Usaha Tetap (BUT)
d. Untuk memberantas penyelundupan pajak
e. Untuk menetapkan tarif douane
3. Putusan hakim (nasional maupun internasional)

Tujuan umum pajak internasional adalah untuk mengeliminsai gejala pajak ganda, hal ini dapat dilakukan dengan 3 cara :
1) Dengan cara unilateral, dimana negara yang bersangkuatan memasukkan dalam perundang-undangan pajaknya ketentuan untuk menghindari pajak berganda seperti :
a. Exemption yang didasarkan pada pure territorial principle atau restricted terrirorial principle
b. Tax credit yang dapat dibedakan menjadi direct tax credit, indirect tax credit, dan fictious tax credit/tax sparing
2) Dengan cara bilateral, dilakukan denga melakukan perjanjian pajak antar negara yang dikenal dengan isilah tax treaty atau perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Untuk negara Indonesia telah memiliki Tax Treaty denagn 57 negara.
3) Perjanjian multilateral, misalnya Igeneral Agreement Tariffs and Trade (GATT) yang mengatut tarif douane secara multilateral.

 SUBJEK DAN OBJEK PAJAK DALAM PAJAK INTERNASIONAL
Subjek pajak dibagi menjadi 2 :
1. Subjek pajak dalam negeri yang mendapat penghasilan dari sumber-sumber di luar negeri
2. Sunjek pajak luar negeri yang mendapat penghasilan dari sumber-sumber di dalam negeri

Sedangkan objek pajak dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Objek pajak dengan sumber di dalam negeri
2. Objek pajak dengan sumber di luar negeri

 METODE PENGHINDARAN / PENGURANGAN PAJAK BERGANDA
Dalam rangka menguarangi atau menetralisir dari kemungkinan pengenaan pajak berganda sebagai akibat dari timbulnya konflik tersebut dimuka maka ada beberapa metode yang bisa dilakukan antara lain:
1. Metode perjanjian penghindaran pajak berganda internasional antara lain dilakukan dengan :
 Traktat yang bersifat multilateral yakni perjanjian yang dilakukan oleh beberapa negara dalam satu perjanjian.
 Traktat yang bersifat bilateral yakni perjanjian yang menyangkut dua negara.

2. Metode Unilateral atau metode sepihak
Cara ini ditempuh oleh negara secara sepihak melalui Yurisdiksi Nasionalnya, yakni dengan cara memasukkan ketentuan-ketentuan yang kemungkinan dapat menimbulkan pengenaan pajak berganda kedalam yurisdiksi nasionalnya, misalnya ketentuan pasal 24 UU.PPh tentang kredit pajak luar negeri. Tata cara pengereditan ini ada dua cara yang dipakai yakni:
 Kredit Penuh yakni pembayaran pajak diluar negeri dikreditkan sebesar jumlah yangf dibayar diluar negeri.
 Kredit Terbatas yakni tata cara pengkreditan pajak yang dibayar diluar negeri menurut jumlah yang paling rendah antara yang dibayar diluar negeri dengan jumlah pajak apabila dikenakan menurut tarif di Indonesia - ini yang dianut pasal 24 UU.PPh.

3. Metode Pembebasan
Metode ini adalah dengan cara memberikan pembebasan terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh dariluar negeri, cara pembebasan ini ada dua cara yang ditempuh yakni :
 Memberikan pembebasan sepenuhnya terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh dari negara sumber. Artinya penghasilan dari negara sumber tidak dimasukkan dalam peghitungan pajak di Negara Domisili. Metode ini juga sering disebut dengan pembebasan penuh atau full examption.
 Cara pembebasan perhitungan pajak yang terhutang hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh didalam negeri, tetapi menerapkan tarif rata-rata atas seluruh penghasilan baik dari dalam negeri atau luar negeri atau disebut dengan Metode pembebasan dengan Progresi atau exemption with proression.
Metode pembebasan ini dianggap metode yang paling praktis sebab Negara Domisili tidak perlu mengetahui bagaimana suatu penghasilan dikenakan pajak di Negara Sumber.

 PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (TAX TREATY)
Adalah perjanjian pajak antar dua negara dalam upaya menghindari pajak berganda. Hal-hal yang ada didalamnya meliputi negara mana saja yang menjadi peserta dan terikat dalamperjanjian tersebut dan objek pajak apa yang tercakup dalam perjanjian tersebut.
Pada dasarnya tax treaty dapat dibedakan menjadi 3 macam :
1) Menyebutkan jenis pajaknya tetapi tidak menyebutkan definisinya, hal ini dapat menimbulkan perbedaan dalam penafsiran, sehingga sering kali ditambahakan klausal “jika terdapta keragu-raguan maka akan dibicarakan bersama”.
2) Mencantumkan definisi pajak yang diliputinya disertai dengan nama pajaknya, yang pada waktu perjanjaian dibuat telah ada dan ditambah dengan ketentuan bahwa pada sewaktu-waktu tertentu otoritas keuangan dari masing-masing negara akan saling memberitahukan, pajak mana yang tunduk dalam perjanjiana tersebut.
3) Menyebutkan nama pajaknya dengan ketentuan, bahwa perjanjian tersebut juga berlaku untuk pajak-pajak yang akan diadakan, dan pada hakekatnya mempunyai dasar yang sama.

Objek pajak dalan tax treaty pada umumnya dibagi dalam 15 jenis penghasilan :
1) Penghasilan dari harta tetap atau barang tak bergerak (income from immovable property)
2) penghsilan dari usaha (business income atau business profit)
3) penghasilan sari usaha perkapalan atau angkutan udara (income from shipping and air transport)
4) deviden
5) bunga
6) royalty
7) keuntungan dari penjualan harta (capital gain)
8) penghasilan dari pekerjaan bebas (income from independent personal service)
9) penghasilan dari pekerjaan (income from dependent personal service)
10) gaji untuk direktur (director fees)
11) penghasilan seniman, artis dan atlit (income earned by entertainers and athletes)
12) uang pensiun dan jaminan social tenaga kerja (pension and social security payment)
13) penghasilan pegawai negeri (income in respect of government service)
14) penghasilan pelajar atau mahasiswa (income received by students and apprentices)
15) penghasilan lain-lain (other income)

Utang Pajak

DEFINISI UTANG PAJAK SECARA UMUM

Menurut Rochmat Sumitro, utang pajak adalah utang yang timbulnya secara khusus karena negara (kreditur) terikat dan tidak dapat memilih secara bebas siapa yang akan dijadikan debiturnya , seperti dalam hukum perdata (Hukum Privat). Hal ini terjadi karena utang pajak lahir karena undang-undang (Berdasarkan atas asas-asa yuridis pemungutan pajak).

Ditinjau dari segi hukum, pajak merupakan sebuah perikatan. Akan tetapi perikatan pajak berbeda dengan perikatan perdata. Dalam perikatan perdata, timbulnya perikatan dapat terjadi karena perjanjian dan juga undang-undang (Perikatan Humum Privat yang mengatur hubungan hukum individu), sedangkan perikatan pajak terjadi karena undang-undang (secara umum). Perikatan perdata dilingkupi oleh suasana hukum privat yang mengatur hubungan-hubungan hukum dari subyek-subyek yang yang sederajat, sedangakan perikatan pajak dilingkupi oleh hukum publik dimana salah satu pihaknya adalah negara yang mempunyai kewenagan untuk memaksa. Hal penting dalam kaitan ini adalah mengenai saat timbulnya utang pajak itu sendiri.

TIMBULNYA UTANG PAJAK

Ada dua ajaran yang mengatur timbulnya utang pajak :

Secara umum terjadinya hukum pajak terjadi karena adannya insiden hukum publik. Dalam hal ini yang dimaksud adalah kesesuaian antara hukum pajak secara umum (Formil dan Material) dengan insiden pajak* yang terjadi.

1. Ajaran Formal (Official assesment System)

Utang pajak timbul karena undang-undang pada saat dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak (fiskus). Jadi selama belum ada Surat Ketetapan Pajak maka belum ada utang pajak dan tidak akan dilakukan penagihan walaupun syarat subyek dan syarat obyek telah dipenuhi bersamaan. Ajaran ini ditetapkan pada official assesment system.

2. Ajaran Material (Self assesment System)

Utang pajak timbul karena berlakunya undang-undang sekaligus dipenuhi syarat subyek dan syarat obyek. “Dengan sendirinya” artinya bahwa untuk timbulnaya utang pajak tidak diperlukan campur tangan dari pejabat Pajak, asal syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang telah terpenuhi. Seseorang dikenai pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan pada self assesment system.

*. Insiden pajak disini diartikan sebagai kesesuaian antara kejadian yang terjadi oleh pihak yang diputuskan atau didefinisikan oleh undang-undang untuk menjadi pihak-pihak yang berhubungan dengan perpajakan.atau dalam kata lain kejadian yang melibatkan pihak-pihak tersebut dapat mengakibatkan undang-undang melegalkan hutang pajak tertanggung kepada pihak dimaksud

Ø Urgensi Timbulnya Utang Pajak

Mengenai pentingnya menentukan saat timbulnya utang pajak, Rochmat Sumitro menyebut adanya beberapa hal :

a. Pembayaran / penagihan

b. Pemasukan surat keberatan

c. Penentuan bermula dan berakhirnya jangka waktu daluwarsa

d. Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Ketetapan Pajak Tambahan

HAPUSNYA UTANG PAJAK

Adapun hapusnya utang pajak disebabkan oleh :

a. Pembayaran

Utang pajak yang melekat pada wajib pajak akan hapus karena pembayaran pajak yang dilakukan ke kas negara.

b. Kompensasi

Kompensasi terjadi apabila wajib pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan pembayaran pajak. Jumlah kelebihan pembayarn pajak yang diterima wajib pajak harus dikompensasikan dengan pajak-pajak lainnya yang terutang. Kompensasi ini dikenal dengan kompensai pembayarn (pasal 11 undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan)

c. Daluwarsa

Daluwarsa disini dimaksudkan sebagai daluwarsa penagihan.

Hak untuk melakukan penagihan pajak, daluwarsa telah lampau waktu sepuluh tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnay masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan. Hal ini memberikan kepastian hukum kapan uatang pajak tidak dapat ditagih lagi. Namum daluwarsa penagihan pajak tertangguhkan, antara lain dapat terjadi apabila diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa.

d. Pembebasan

Utang pajak tidak berakhir pada waktu yang semestinya tetapi karena ditiadakan. Pembebasan pajak umumnya diberikan pada sanksi administrasinya.

e. Penghapusan

Penghapusan utang pajak sama sifatnya dengan pembebasan, tetapi diberikannya karena keadaan wajib pajak misalnya keuangan wajib pajak.

Hukum Pajak

1 Definisi Hukum Pajak

Definisi hukum pajak banyak dikemukan oleh beberapa ahli. Diantaranya adalah:

1 Hukum pajak adalah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemunggut pajak dan rakatnya sebagai pembayar pajak. (Erly Suandi:2002)

2 Hukum pajak adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui ka negara , sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukummantar negara dan orang-orang atau badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (wajib pajak) (Santoso Brotodiharjo:2003).

3 Hukum pajak adalah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dengan rakyat sebagai pembayar pajak. (Bohari:2003,)

Didalam hukum pajak diatur mengenai beberapa hal diantaranya adalah: siapa-siapa yang menjadi subjek pajak dan wajib pajak, objek-objek apa saja yang menjadi objek pajak, kewajiban wajib pajak terhadap pemerintah, timbul dan hapusnya hutang pajak, cara penagihan pajak, cara mengajukan banding.

2 Fungsi Hukum Pajak

Fungsi hukum pajak adalah mengatur bagaimana pemindahan harta dari masyarakat sebagai individu (yang disebut wajib pajak) kepada publik melalui kas negara agar dapat berjalan dengan baik, teratur, tertib dan adil serta tidak menimbulkan kesewenang-wenganan dari pelaksana hukum sehingga fungsi budgetair dari pemungutan pajak dapat terlaksana dengan baik dan adil. (Djoned Gunadi: 2003, 32)

3 Tujuan Hukum Pajak

Tujuan hukum pajak pada dasarnya adalah merupakan bagian dari tujuan hukum pada umumnya yang sangat luas dan dapat berbeda pendapat antara seorang ahli dengan seorang ahli yang lain. Pada umumnya tujuan hukum adalah meliputi timbulnya ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat, kefaedahan atau manfaat dari adanya hukum, kepastian di dalam pelaksanaannya, keadilan umum dan kepastian hukum.

4 Sistematika Hukum Pajak

Hukum pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum pajak materiil dan hukum pajak formal.

4.1 Hukum Pajak Materiil

Hukum pajak materiil adalah norma-norma yang menjelaskan keadaan, perbuatan, dan peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, siapa yang harus dikenakan pajak, dan berapa besar pajaknya. Dengan kata lain hukum pajak materiil mengatur tentang timbulnya, besarnya, terhapusnya utang pajak beserta hubungan hukum antara pemerintah dengan Wajib Pajak. Contoh dari hukum pajak materiil adalah peraturan yang memuat tentang kenaikan denda, sanksi atau hukuman, dan cara-cara pembebasan dan pengembalian pajak, serta ketentuan yang memberi hak tagihan utama kepada fiskus.(Siti Resmi:2008)

Apabila dalam undang-undang pajak khusus memuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum formal, maka hal ini harus diatur kembali dalam undang-undang pajak yang bersangkutan. Undang-undang yang memuat hukum pajak material dan formal yaitu;

a. Undang-undang No.12 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No.12 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

b. Undang-undang No.18 Tahun 1997 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No.34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

c. Undang-undang No.21 Tahun1997 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang No.20 Tahun 2000 tentang Bea perolehan atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Pengaturan hukum pajak material dan formal ini mengalami perubahan semenjak adanya Pembaharuan Perpajakan Nasional (tax reform), dimana sebelumnya pengaturan antara Hukum Pajak Material dan Formal dijadikan satu. Hal itu dapat dilihat dalam Ordonansi Pajak Pendapatan (PPd.) 1944, Ordonansi Pajak Perseroan (PPs.) 1925. Setelah adanya Pembaharuan Perpajakan Nasional tahun 1983, maka hanya ada satu Hukum Pajak Fornal yang digunakan untuk serangkaian Hukum Pajak Material. Pengaturan dengan cara lama mempunayai kelebihan lebih memungkinkan bagi ketentuan Hukum Pajak Formal untuk menyesuaikan dengan karakteristik dari Hukum Pajak Materialnya, dikarenakan yang dilayani oleh Hukum Pajak Formal Hanya satu. Adapun kelemahannya terutama bagi wajib pajak karena akan mempersulit dalam mempelajari dan memahami ketentuan pajak yang bgitu banyak dan beragam. Sedangkan pengaturan seperti yang ada sekarang ini mempunyai kelebihan yakni lebih sederhana dan memudahkan untuk dipelajari dan dipahami, tetapi kelemahannya sulit untuk menyesuaikan dengan ketentuan Hkum Pajak Material yang banyak dan memiliki karakteristik yang beragam, sehingga ketentuan Hukum Pajak Formal itu bersifat ketentuan umum dimana dalam undang-undang pajak material juga disisipkan ketentuan Hukum Pajak Formal tertentu yang merupakan ketentuan khusus. Misal undang-undang tentang Pajak Bumi dan Bangunan dan undang-undang tentang Bea Materai.

4.2 Hukum Pajak Formal

Hukum pajak formal memuat ketentuan-ketentuan yang mendukung ketentuan hukum pajak material, yang diperlukan untuk melaksanakan/ merealisasikan ketentuan hukum material. Hukum pajak formil dimaksudkan untuk memberi perlindungan pada fiskus dan Wajib Pajak, serta memberi jaminan bahwa hukum pajak materiilnya dapat dilaksanakan sesegera mungkin. Hal-hal yang digolongkan dalam ketentuan hukum formal yang diatur Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan antara lain mengatur mengenai:

1 Surat pemberitahuan (baik masa maupun tahunan),

2 Surat Setoran Pajak,

3 Surat ketetapan pajak (Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan Surat Ketetapan Pajak Nihil )

4 Surat Tagihan,

5 Pembukuan dan pemeriksaan,

6 Penyidikan,

7 Surat Paksa,

8 Keberatan dan Banding,

9 Sanksi administratif, sanksi pidana, dll.

Hal-hal yang digolongkan dalam ketentuan hukum formal yang diatur dalam Undang-undang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang telah diubah dengan Badan Peradilan Pajak antara lain mengatur mengenai:

1 Sengketa Pajak

2 Banding dan Gugatan

3 Susunan Badan Peradilan Pajak

4 Hukum Acara

5 Pembuktian

6 Pelaksanaan putusan, dll.

Hal-hal yang digolongkan dalam ketentuan hukum formal yang diatur dalam Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa antara lain mengatur mengenai: (Erly Suandy:2002)

1 Penagihan pajak

2 Juru sita pajak

3 Penagihan seketika dan sekaligus

4 Surat paksa

5 Penyitaany

6 Lelang

7 Pencegahan dan penyanderaan

8 Gugatan,dll

5. Kedudukan Hukum Pajak dalam Tatanan Hukum Nasional

Kedudukan dan hubungan hukum pajak dalam tatanan hukum nasional dapat dijelaskan dalam bagan 1 berikut:


Dalam bagan tersebut dijelaskan bahwa hukum dibagi menjadi 2 yaitu hukum perdata dan hukum publik. Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara orang pribadi yang satu dengan yang lain. Sedangkan hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dengan rakyatnya. Menurut R. Santoso Brotodiharjo yang termasuk hukum publik adalah hukum tata negara, hukum administrasi (tata usaha), hukum pajak, dan hukum pidana. Meskipun demikian tidak berarti hukum pajak dapat berdiri sendiri terlepas dari hukum pajak lainnya (Seperti hukum pidana dan hukum perdata). Oleh karena itu berikut ini akan disajikan hubungan hukum pajak dengan hukum pidana dan hukum perdata.

5.1. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata

Hukum perdata adalah bagian dari keseluruhan hukum yang mengatur hubungan antara orang-orang pribadi, dengan hukum pajak banyak sekali sangkut pautnya. Hal ini karena dalam relasinya hukum pajak banyak mencari dasar kemungkinan pemunggutannya atas kejadian-kejadian dan perbuatan hukum yang bergerak dalam bidang perdata, seperti pendapatan, kekayaan, perjanjian penyerahan, pemindahan hak karena warisan, dan sebagainya. Sebaliknya pengaruh hukum pajak terhadap hukum perdata besar pula sebagai akibat dari ketentuan bahwa lex specialis derogate lex generalis, yang berarti dalam suatu penafsiran tentang suatu kejadian pertama-tama akan didahulukan peraturan khusus, kemudian baru melihat peraturan yang umum.

5.2 Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana

Hukum pidana yang merupakan bagian dari hukum publik yang merupakan hubungan yang terjadi antara masyarakat dengan pemerintah, yang berkaitan dengan masalah tindak pidana. Contoh termudah menyebutkan adanya sanksi pidana terhadap wajib pajak yang melanggar ketentuan di bidang perpajakan. Misalnya terhadap wajib pajak yang memindahtangankan atau merusak barang yang telah disita karena tidak melunasi utang pajaknya akan diancam pasal 23 KUH Pidana.

Hukum Pajak yang merupakan bagian dari hukum publik, khususnya termasuk lingkungan Hukum administrasi (negara). Hukum Administrasi adalah Hukum yang mengatur mengenai Pemerintah beserta aparaturnya yang terpenting yakni Administrasi Negara

  1. Perlawanan terhadap pajak

Perlawanan tehadap pajak adalah hambatan-hambatan yang ada atau terjadi dalam upaya pemungutan pajak. Perlawanan pajak dibedakan menjadi dua bagian:

1. Perlawanan Pasif

Hal ini berkaitan dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat di negara bersangkutan. Pada umumnya masyarakat tidak melakukan suatu upaya yang sistematis dalam rangka menghambat penerimaan negara, tetapi lebih dikarenakan oleh kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.

Contoh: kebiasaan masyarakat desa`yang menyimpan uang dirumah atau dibelikan emas bukanlah menghindari Pajak Penghasilan dari bunga tetapi karena belum terbiasa dengan perbankan.

Perlawanan pasif dapat disebabkan antar lain:

a. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.

b. Sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami masyarakat.

c. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.

2. Perlawanan Aktif

Hal ini merupakan serangkaian usaha yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk tidak membayar pajak atau mengurangi jumlah pajak yang seharusnya dibayar.

Perlawanan ini dibagi menjadi:

a. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)

Adalah suatu usaha pengurangan secara legal yang dilakukan dengan cara memanfaatkan ketentuan-ketentuan di bidang perpajakan secara optimal, seperti pengecualian dan pemotongan-pemotongan yang diperkenankan maupun memanfaatkan hal-hal yang belum diatur dan kelemahan-kelemahan yang ada dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

b. Penggelapan Pajak (Tax Evasion)

Adalah pengurangan pajak yang dilakukan dengan melanggar peraturan perpajakan, seperti memberikan data-data palsu atau menyembunyikan data. Dengan demikian dapat dikenai sanksi pidana.

c. Melalaikan Pajak

Hal ini dilakukan dengan tidak memenuhi kewajiban-kewajiban formal yang menjadi tanggung jawab Wajib Pajak. Wajib Pajak yang diserahi tanggung jawab untuk secara aktif mengambil dan mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) berkait dengan penerapan sistem self assesment, tidak melakukan kewajiban tersebut sehinggan pajak menjadi tidak dapat dipungut sebagaiman mestinya. Hal itu dapat juga terjadi dengan tidak dibayarnya pajak yang terutang.

Perlawanan tehadap pajak adalah hambatan-hambatan yang ada atau terjadi dalam upaya pemungutan pajak. Perlawanan pajak dibedakan menjadi dua bagian:

3. Perlawanan Pasif

Hal ini berkaitan dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat di negara bersangkutan. Pada umumnya masyarakat tidak melakukan suatu upaya yang sistematis dalam rangka menghambat penerimaan negara, tetapi lebih dikarenakan oleh kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.

Contoh: kebiasaan masyarakat desa`yang menyimpan uang dirumah atau dibelikan emas bukanlah menghindari Pajak Penghasilan dari bunga tetapi karena belum terbiasa dengan perbankan.

Perlawanan pasif dapat disebabkan antar lain:

d. Perkembangan intelektual dan moral masyarakat.

e. Sistem perpajakan yang mungkin sulit dipahami masyarakat.

f. Sistem kontrol tidak dapat dilakukan atau dilaksanakan dengan baik.

4. Perlawanan Aktif

Hal ini merupakan serangkaian usaha yang dilakukan oleh Wajib Pajak untuk tidak membayar pajak atau mengurangi jumlah pajak yang seharusnya dibayar.

Perlawanan ini dibagi menjadi:

d. Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)

Adalah suatu usaha pengurangan secara legal yang dilakukan dengan cara memanfaatkan ketentuan-ketentuan di bidang perpajakan secara optimal, seperti pengecualian dan pemotongan-pemotongan yang diperkenankan maupun memanfaatkan hal-hal yang belum diatur dan kelemahan-kelemahan yang ada dalam peraturan perpajakan yang berlaku.

e. Penggelapan Pajak (Tax Evasion)

Adalah pengurangan pajak yang dilakukan dengan melanggar peraturan perpajakan, seperti memberikan data-data palsu atau menyembunyikan data. Dengan demikian dapat dikenai sanksi pidana.

f. Melalaikan Pajak

Hal ini dilakukan dengan tidak memenuhi kewajiban-kewajiban formal yang menjadi tanggung jawab Wajib Pajak. Wajib Pajak yang diserahi tanggung jawab untuk secara aktif mengambil dan mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) berkait dengan penerapan sistem self assesment, tidak melakukan kewajiban tersebut sehinggan pajak menjadi tidak dapat dipungut sebagaiman mestinya. Hal itu dapat juga terjadi dengan tidak dibayarnya pajak yang terutang.